bakabar.com, BANJARMASIN - Tepat 70 tahun lalu, seorang perempuan berani bernama Mathilda Batlayeri gugur demi mempertahankan pos polisi di Kurau, Tanah Laut, dari jarahan pemberontak.
Mathilda sebenarnya bukan polisi. Perempuan kelahiran 1927 di Desa Cinfana Omele, Kepulauan Tanimbar, Maluku ini merupakan istri seorang polisi bernama Adrianus Batlayeri.
Adrianus sendiri masuk polisi, ketika Polri baru berdiri dan melakukan penerimaan anggota pertama kali. Adrianus dan Mathilda menikah di pertengahan 1944, lalu dikaruniai tiga anak.
Setelah pernikahan tersebut, Mathilda juga resmi mengganti nama dari Mathilda Lamere menjadi Mathilda Batlayeri.
Lantas ketika Adrianus Batlayeri ditugaskan ke Kalimantan Selatan sejak 1953, Mathilda pun ikut serta.
Adrianus kemudian ditugaskan di Kurau yang menjadi bagian Kewedanaan Tanah Laut dengan pangkat Agen Polisi II.
Sebagai seorang Bhayangkari, Mathilda tinggal di asrama mengasuh Alexander Batlayeri (9), Lodewijk Batlayeri (6) dan Max Batlayeri (2,5). Mathilda pun sedang mengandung anak keempat.
Sementara dalam era 1950 di Kalimantan Selatan, terjadi pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) pimpinan Ibnu Hadjar.
Ibu Hadjar sedianya pernah menjadi anggota TNI dan berpangkat letnan dua, tapi kemudian memberontak dan menyatakan bagian dari perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo.
Aksi lapangan yang dilakukan kelompok Ibnu Hadjar adalah menyerang pos-pos militer di Kalimantan Selatan.
Tepat 28 September 1953 dini hari, kelompok tersebut tiba di Kewedanaan Tanah Laut dan menyerang pos militer di Kurau.
Beberapa jam sebelum penyerangan, Adrianus sudah bangun dari tidur dan pergi ke sumur untuk mengambil air bersih. Mathilda pun sudah terjaga, tetapi ketiga anak mereka masih tertidur pulas.
Ketika Adrianus ke sumur, KRyT datang menyerang. Mereka berjumlah sekitar 50 orang dengan menggunakan senjata api dan pedang.
Sementara di pos, hanya terdapat lima anggota polisi. Akhirnya baku tembak yang tidak berimbang pun terjadi.
Mathilda yang cemas lantaran Adrianus belum kembali ke asrama, lantas berinisiatif mengambil senjata jenis moser milik Adrianus di kamar.
Sejurus kemudian Mathilda langsung melibatkan diri dalam baku tembak. Bahkan Mathilda dapat merobohkan pimpinan penyerangan bernama Suwandi yang dikabarkan punya ilmu kebal.
Namun demikian, pemberontak akhirnya dapat menguasai pos. Lima anggota polisi gugur, setelah pos yang ditempati dihujani peluru.
Demikian pula ketiga putra Adrianus dan Mathilda yang berada dalam asrama. Kemudian pos dibakar pemberontak bersama jasad kelima polisi, serta Mathilda yang sedang mengandung.
30 tahun setelah peristiwa itu, Bhayangkari Pusat memberi penghargaan kepada Mathilda Batlayeri berupa Medali Melati sebagai Pahlawan Bhayangkari.
Dalam waktu bersamaan, Kapolda Kalsel Brigjen Pol M Sanusi kemudian menjadi Kapolri dan membangun monumen untuk mengenang Mathilda Batlayeri.
Monumen mulai dibangun 13 Agustus 1983 dan diberi nama Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri. Monumen ini juga bertuliskan pesan terakhir Mathilda.
"Kepada penerusku, aku Bhayangkari dan anak-anakku terkapar di sini, di Bumi Kurau Kalimatan Selatan yang sepi. Semoga pahatan pengabdianku memberi arti pada Ibu Pertiwi" demikian pesan terakhir Mathilda.
Lantas tepat Hari Pahlawan 10 November 1983, monumen tersebut diresmikan oleh Ketua Umum Bhayangkari Ny Anton Soedjarwo.
Nama Mathilda Batlayeri juga diabadikan di beberapa tempat seperti nama Aula Bahayangkari di Mako Polda Kalimantan Selatan, serta nama jalan di Kurau.
Sementara di Kepulauan Tanimbar, pemerintah setempat membuat Monumen Mathilda Batlayeri di Saumlaki. Peletakan batu pertama dilakukan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu.
Sedangkan Bupati Maluku Tenggara Barat (nama lama Kepulauan Tanimbar) Bitto Temmar, berinisiatif menulis kembali sejarah lengkap perjuangan Mathilda Batlayeri untuk dijadikan buku.
Mathilda Batlayeri juga dijadikan nama bandar udara dan jalan utama di Saumlaki. Mathilda Batlayeri menggantikan Bandara Olilit yang sudah tidak digunakan lagi.