bakabar.com, MARTAPURA - Nama Demang Lehman tentu tidak asing di telinga warga Kalsel. Pria yang dilahirkan dengan nama Idis dan mendapat gelar Adhipattie Mangko Nagara harus meninggal di usia ke 32 tahun pada tiang gantung. Benarkah ia dimakamkan tanpa kepala?
Saat perjuangan Demang Lehman melawan penjajah di tanah Borneo, dirinya tertangkap di wilayah Batu Panggal.
Dari surat berita acara penangkapan dan hukuman Demang Lehman, dirinya mendapat hukuman gantung. Namun dalam berkas-berkas tersebut tidak ditemukan adanya disebutkan letak tempat dimakamkan.
Dijelaskan Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan yang juga menjadi Dosen Prodi pendidikan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin, Mansyur, berdasarkan dari penelusuran pihaknya, jasad Demang Lehman dimakamkan pada Alun-alun Cahaya Bumi Selamat, di tengah Kota Martapura pada 19 Ramadhan 1280 H, bertepatan dengan 27 Februari 1864 M sore hari.
"Hal tersebut didasari dari kemungkinan pemerintah Kolonial Belanda tidak mau repot," kata Mansyur atau yang akrab disapa Sammy ini kepada bakabar.com.
Selain itu juga ada keterangan jika jasad Demang Lehman dimakamkan di Kecamatan Karang Intan. Namun hal tersebut didapatkan oleh pihaknya hanya dari sejarah lisan seorang warga yang mengaku sebagai zuriat (keturunan) dari Demang Lehman.
"Dari keterangan tersebut kita dapati di sana, namun untuk titik pastinya kita masih belum mengetahui, pasalnya saya kemarin tidak ikut ke lapangan," ungkap Sammy.
Proses penghukuman Demang Lehman ini dilakukan di Alun-alun Cahaya Bumi Selamat, namun pada saat itu jasad Demang Lehman belum dipisahkan kepala dan badannya.
"Dari data yang ada, jasad Demang Lehman langsung dibawa ke rumah sakit yang berada di Martapura, untuk tepatnya kita kurang tau. Pasalnya hanya dituliskan di Martapura saja," ujarnya.
Pada saat itu, pihak keluarga dan orang terdekat tidak ada yang berani mengakui beliau. Hal tersebut dikarenakan takut jika disangkut paut kan dengan pemberontakan Demang Lehman.
"Karena tidak ada keluarga yang mengakui, jadi kita menduga mungkin tidak jauh lokasi makam," jelasnya.
Sebelum dilakukan hukuman gantung, Demang Lehman ditangkap Kolonial Belanda. Pada bulan Ramadhan 1280 H, menjadi episode terakhir dan paling tragis dari perlawanan sang Demang Lehman demi kemerdekaan Banua dari kolonial.
Sammy menjelaskan dari deretan data sejarah era kolonial, dituliskan jika seorang Demang Lehman adalah tokoh penganut agama Islam yang taat menjalankan segala ajaran agama.
"Demang Lehman oleh kolonial Belanda digelari Solehman ini tidak pernah meninggalkan salat 5 waktu serta tetap berpuasa. Walau pada saat itu beliau tengah dibayang-bayangi dengan detik-detik kematian," ucapnya menggambarkan keteguhan iman Demang Lehman.
Seperti yang ditulis kan oleh Meyners dalam Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk (Sumbangan untuk Sejarah Kesultanan Banjar) 1863-1866, terbitan E.J. Brill, Leiden, Belanda.
Dari tulisan tersebut, Sammy mengatakan, Meyners jika pada sore hari tanggal 13 Ramadhan 1280 H (21 Februari 1864 para kepala daerah Bator Litjien (Batulicin), Pangeran Sjarif Hamid bersama dengan mertuanya, Poea Iman Hadjie Mohamat Akil membawa tahanan khusus dalam kondisi terikat.
"Beliau adalah Demang Lehman yang begitu terkenal, ditambah lagi beliau diberi gelar oleh Makubumi Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah Kijai Adipati Mangko Negara," ungkapnya.
Demang Lehman diangkut dengan prauw sopit (perahu supit). Setelah sampai di wilayah Schans Van Thuijll (sekarang menjadi Mantuil, Banjarmasin), Demang Lehman kemudian dipindahkan ke sekoci recherché (Reserse jika sekarang ini).
Dari Schans Van Thuijll oleh Adjudant Onderofficier Posthouder, Serquet lalu dikawal menuju ke jembatan pendaratan (dermaga) di depan rumah tempat tinggal Residen (sekarang Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin). Setelahnya, Demang Lehman dipindahkan lagi ke Benteng Tatas (wilayah Masjid Sabilal Muhtadin, Banjarmasin).
Sammy mengatakan, Auuditor-Militer Belanda segera memberikan perintah hukuman dan mengadili Demang Lehman.
"Pada saat itu bertepatan pada sore hari tanggal 14 Ramadhan 1280 H atau 22 Februari 1864 M," ungkapnya.
Pemeriksaan dan pengadilan di persidangan dimulai. Hingga pada pagi hari 16 Ramadhan 1280 H atau 27 Februari 1864 M pemeriksaan Demang Lehman selesai.
"Putusan dari Dewan Militer dengan surat bulat menyetujui Demang Lehman dihukum mati di Lapangan (Alun-alun, red) Martapura pada 19 Ramadhan 1280H atau 27 Februari 1864, tepatnya pada sore hari," terangnya.
Kondisi Demang Lehman menunggu ajal di tiang gantung, di tuliskan oleh Meyners tutur Sammy, meski tampak tak bergairah dengan mengenakan pakaian compang camping. Namun di balik semua itu Demang Lehman memiliki sesuatu yang sangat mengesankan, sikap dan ketegarannya.
"Demang Lehman bahkan tetap menjalankan ibadah puasa sesuai dengan keyakinannya. Beliau ini memang seorang yang menganut ajaran islam yang taat," ucapnya.
Keteguhan hati Demang Lehman juga diungkapkan oleh Sammy, pada kala itu Demang Lehman dengan leluasa berbicara ketika dia selesai diperiksa dan diadili pada persidangan di hadapan dewan dan auditor militer serta kepala staf. "Pada saat dibawa ke hadapan Kolonel Happe, Demang Lehman mengulangi permintaan nya, dirinya tidak mau meninggalkan Tanah Borneo (Kalimantan) selamanya, meski dia harus mati dengan cara dihukum gantung," beber Semmy.
Sebelum lelaki yang mempunyai nama lahir di situ mengembuskan napas terakhir, dia hanya punya satu permintaan. Proses pengurusan jenazahnya dan pemakamannya diurus istrinya.
Demang Lehman menurut sejarah pada 1862-1863, tercatat memiliki putra bernama Gusti Djaidin. Selain itu juga Demang Lehman tercatat memiliki dua orang istri bernama Ratuoe Atidja (Ratu Atidja). Mertua Demang Lehman bernama Pambakkal Koenoer (Pembakal Kunur) yang berdomisili di wilayah Pajukungan dan Alai.
Pada saat itu, Demang Lehman tidak memberontak atau melarang ketika perwira Pemerintah Hindia Belanda mengambil gambarnya.
Dalam kondisi berpuasa dengan tenang beliau duduk di kursi kayu sambal terjerat tali. Bukannya merasa keberatan diambil foto, hal tak terduga melahan Demang Lehman tampak lebih senang dengan itu.
Setelah vonis, maka dibuat pemberitahuan kepada komandan pasukan, juga Asisten Residen di Martapura serta perwira militer di dewan pengadilan untuk membawa Demang Lehman di bawah pengawalan ketat.
Pada pagi buta, Demang Lehman diangkut dengan kapal Saijlos yang membawanya ke Martapura pada tanggal 25 Februari, hingga kemudian akan dieksekusi pada tanggal 27 Februari 1864.
Jadi, sekitar dua hari.. Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Belanda Pulangkan Keris Diponegoro, Tengkorak Demang Lehman Kapan?
"Jadi, sekitar dua hari Demang Lehman di tahan di Martapura sebelum dilakukan eksekusi oleh Kolonial Belanda. Namun untuk titik tepat di mana penjara itu belum diketahui pasti letaknya," terangnya.
Seperti yang dituliskan oleh Meyners, tutur Sammy kepada bakabar.com, Demang Lehman menjelang dieksekusi juga melakukan puasa dengan ketat seperti yang ditentukan, karena pada saat itu bulan Ramadhan.
"Seperti puasa pada umumnya, beliau juga melaksanakan sahur dan berbuka puasa, namun hanya dengan roti biasa atau roti beras untuk jam-jam tertentu," jelasnya.
Sammy mengatakan, dari sumber lain, jika Demang Lehman juga tidak pernah meninggalkan salat dan membaca Alquran di dalam tahanan.
Demang Lehman memiliki Alquran berukuran kecil yang selalu dibawanya kemana-mana dan dibacanya ketika waktu senggang.
"Pada saat beliau menjalani tahanan menjelang eksekusi, tidak ada seorangpun yang menjenguk atau sekadar mempertanyakannya. Hal tersebut karena penduduk sangat takut kalau disangkut paut kan dengan Demang Lehman. Demikian yang dituliskan oleh Media Surat Kabar Sumatera Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864," ujarnya membocorkan.
Demang Lehman saat dieksekusi sedang dalam keadaan berpuasa. Pada 19 Ramadhan 1280 H ata 27 Februari 1864 M, di hari eksekusinya, Demang Lehman sangat tenang dan tidak kehilangan kendali dirinya.
"Ia melangkah dan dengan bangga mengangkat kepalanya melewati tatapan kumpulan warga Martapura yang ada di jalan menuju tiang gantung," tuturnya.
Pejabat Militer Belanda yang menyaksikan eksekusi tersebut merasa kagum dan ketegangan. Setelah meninggal, jenazah Demang Lehman di bawa ke rumah sakit di Martapura.
Dalam Surat Kabar Sumatera Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, dituliskan tidak ada satupun dari penduduk Martapura yang mengklaim bahwa Demang Lehman keluarganya. Kemungkinan karena rasa ketakutan masyarakat saat itu. Setelah eksekusi, tidak ada satu keluarganya pun yang menyaksikan dan menyambut mayatnya.
"Jasad Demang Lehman yang dibawa ke rumah sakit di Martapura ini kemudian dipenggal kepalanya oleh pihak kolonial Belanda secara diam-diam saja, tanpa dipertontonkan di muka umum seperti halnya hukuman gantung," pungkasnya.