ALBUM 'Waja Sampai Kaputing' adalah gambaran kemewahan dalam musik punk. Ya, setidaknya jika album yang baru saja dirilis oleh Primitive Monkey Noose ini masih 'layak' disebut sebagai punk. Sebab, jika melihat dari keseluruhan materi dan aransemen musik yang mereka sajikan, istilah punk bisa jadi sudah tak relevan bagi band asal Batulicin, Kalimantan Selatan ini.
Dipilihnya Oveck Arsya, musisi yang sudah 'menang banyak' di panggung-panggung festival di Borneo sebagai gitaris utama, memang membuat band ini sudah tidak terlalu 'nge-punk' sejak pertama kali berdiri. Kita mungkin tak bisa membayangkan jika Eddie Van Halen menjadi gitaris Sex Pistols atau barangkali David Gilmour yang menjadi gitaris Ramones. Tapi, bagi Primitive Monkey Noose, itu bukan menjadi sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Kendati ada perbedaan ideologi antara musik yang diusung Richie Petroza, sang frontman, dengan gitarisnya, Oveck, tapi secara musikal band ini baik-baik saja. Mereka justru menyajikan banyak hal baru: rock yang agresif sekaligus progresif. Lagipula Richie Petroza sebagai imam besar di Primitive Monkey Noose juga tak akan peduli-peduli amat dengan penyematan istilah band punk, band rock, atau apapun itu.
Dalam proses kreatifnya, album Waja Sampai Kaputing diproduksi menjelang Primitive Monkey Noose tampil di Synchronize Festival 2023. Sebuah event yang tak hanya menjadi milestone bagi perjalanan karir mereka, tapi juga menjadi catatan sejarah bagi musisi asal Batulicin. Sebab, selama puluhan tahun, sejak era 90-an, tak pernah ada musisi yang meraih pencapaian dan apresiasi setinggi dan sejauh ini.
Setelah sukses menggarap album pertama Primitive Monkey Noose, Prima Yudha Prawira, masih dipercaya sebagai produser. Berbeda dengan saat menggarap album pertama, secara psikologis semua personel Primitive Monkey Noose juga jauh lebih siap. Karenanya, jika kita menyimak album kedua dari trek pembuka sampai penutup, kita bisa melihat bahwa aransemen, harmonisasi vokal, bagian solo gitar, hingga detil-detil kecil lainnya benar-benar terdengar jauh lebih matang. Richie, sebagai penulis lagu, masih mempertahankan gaya sarkastis dalam penulisan lirik-liriknya.
Baca Juga: Jelang Tampil di Synchronize Fest 2023, Primitive Monkey Noose Bicara Peran Penting Media
Lewat album ini kita bisa menyimak begitu banyak pengaruh musik yang mereka masukkan. Kita bisa merasakan influence musik folk lewat petikan panting, aroma country, riff-riff yang sangat heavy, dan beat drum yang terus berubah, layaknya musik-musik progressive rock. Getaran-getaran kemewahannya begitu terasa.
Kemewahan itu langsung muncul pada mukadimah berdurasi 1.11 menit berjudul "Waja Sampai Kaputing", Mengambil irama dari lagu populer banjar berjudul "Kambang Goyang", komposisi musik yang menurut Richie dibuat secara digital oleh sang produser, Prima Yuda Prawira, terdengar megah.
Mukadimah ini dibuat seolah-olah menyambung dengan lagu kedua berjudul "Kada Kawa Kawan Ae" yang menjadi trek unggulan. Sebuah tradisi yang sudah mereka lakukan sejak album pertama. Hal ini membuat album ini terdengar sangat sophisticated.
Tak bisa dipungkiri, "Kada Kawa Kawan Ae" menjadi magnet menarik. Kita mungkin sudah begitu familier dengan nada-nada yang digunakan pada bagian chorus saat Richie berteriak, "Kada Kawa Kawan Ae/Kada Kawa Kawan Ae/Bini Panyarikan Kada Kawa Kawan Ae.
Sepintas itu mengingatkan pada lagu daerah asal Maluku "Rasa Sayange". Tapi justru di situlah kecerdasan Richie sebagai pencipta lagu ini. Mereka dengan sengaja menciptakan notasi-notasi yang akan sangat mudah disukai, bahkan oleh ibu-ibu pengajian sekalipun. Apalagi tema yang diusung adalah isu "suami-suami takut istri".
Hanya saja orang yang tak paham bahasa Banjar mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi, karena tak paham dengan maksud di dalam liriknya. Meski begitu, mereka akan dengan sangat mudah mengikuti nada-nadanya. Teriakan "Woy" yang terus bersahut-sahutan dengan suara berat sang vokalis, membuat lagu ini makin hidup dan menyenangkan.
Masuk ke trek ketiga, "Go Hard Go Home" menjadi satu-satunya lagu yang menggunakan bahasa Inggris. Sebelumnya, Primitive Monkey Noose memasukkan satu lagu berbahasa Inggris di album mini pertama mereka. Meski terkesan hanya sebagai lagu pelengkap, tapi secara aransemen musik, lagu yang liriknya optimis ini lumayan menghibur, terutama di bagian solo gitarnya.
Tuah Tanah Borneo yang sudah dirilis sebagai single pada awal tahun ini menjadi lagu yang sangat menonjol. Aransemen dan liriknya terlihat digarap serius. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, benar-benar disusun dengan khusyuk. Dalam tulisan sebelumnya, saya menyebut Primitive Monkey Noose menggunakan lebih banyak energi dan pikiran saat menggarap lagu ini.
Baca Juga: Rilis 'Waja Sampai Kaputing', 'Kada Kawa Kawan Ae' Jadi Jagoan di Album Kedua Primitive Monkey Noose
Tradisi mengcover lagu karya Fadly Zour, seniman musik asal Pagatan, Kalimantan Selatan, masih mereka lanjutkan. Setelah membawakan lagu "Mahadang Ading" di album pertama, kali ini mereka memilih Pambatangan, salah satu lagu Banjar paling populer. Kalau boleh jujur dan dengan tulus saya katakan, kualitas aransemennya jauh lebih bergizi dibandingkan versi band yang pernah malu-malu mengakui jika mereka berasal dari Kalimantan Selatan: Radja.
Asal Hati Senang menjadi trek berikutnya. Masih dengan beat-beat menghentak, lagu ini langsung mengingatkan saya pada lagu-lagu pertama mereka. Sebagai pelengkap album, buat saya ini bukan jenis lagu yang buruk-buruk amat.
Setelah menghentak dari awal hingga menjelang akhir album, sebuah tembang akustik berjudul "Senandung Usang" dipilih menjadi lagu penutup. Dibuka dengan genjrengan gitar akustik dan petikan panting, lagu ini dinyanyikan beramai-ramai oleh personel Primitive Monkey Noose. Tak ada pesan yang terlalu penting, tapi cukup ideal untuk menjadi penutup album sekaligus untuk mendinginkan pikiran setelah melewati lagu-lagu lain yang lumayan berisik dan penuh omelan.
Dalam kebudayaan Banjar, Waja Sampai Kaputing bermakna terus berjuang sampai akhir. Motto ini bermakna sangat penting bagi masyarakat banjar. Mereka memegang teguh semboyan ini sebagai filosofi hidup yang akan terus mereka pegang erat-erat dalam kondisi dan situasi apapun.
Sementara bagi Primitive Monkey Noose, Waja Sampai Kaputing bisa bermakna banyak hal. Dari soal perjalanan bermusik, usaha membangun ekosistem musik di kampung mereka sendiri, hingga perihal upaya memperkenalkan kebudayaan Banjar ke skena musik yang lebih luas.
Satu pujian besar harus diberikan kepada pembuat artwork album 'Waja Sampai Kaputing'. Primitive Monkey Noose mempercayakan penggarapan cover lewat middle_east 19, salah satu pekerja kreatif asal Banjarmasin, yang mampu menerjemahkan ide dari band ini dengan sangat sempurna. Richie jelas sudah khatam jika cover album yang baik tidak hanya harus bagus dilihat saat menikmati lagunya di platform digital atau CD saja, tetapi juga harus terlihat menarik saat dijadikan merchandise.
Bagi saya, 'Waja Sampai Kaputing' berhasil menjadi album yang menggambarkan lokalitas dan identitas Banjar yang utuh. Dari covernya, lirik lagunya, hingga musiknya, orang-orang-orang akan langsung paham pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan Richie, Oveck, Wan Arif, Ridho, Denny, dan Juli. Apalagi jika kita mencermati makna yang ada di dalam sampul albumnya.
Sejak era festivalan, ada begitu banyak band yang berlomba-lomba mengcover lagu, membuat aransemen baru yang rumit, lalu menjadi juara. Tapi dari sekian banyak itu, hanya segelintir yang berani maju menantang industri; bekerja sama dengan label, merilis album, menjual merchandise, menggelar tur, hingga tampil di festival skala nasional.
Muncul di penghujung peradaban, Primitive Monkey Noose datang layaknya messiah bagi musisi-musisi lokal Banua, memberi pencerahan dan memberi banyak petunjuk, bagaimana seharusnya musik diperlakukan.