bakabar.com, KANDANGAN – Gambaran dari tekad ini adalah lahirnya proklamasi 17 Mei 1949, mengedepankan penyatuan wilayah Kalimatan Selatan (Kalsel) dengan negara Republik Indonesia.
Nilai terdalam dari proklamasi ini adalah suatu keinginan integrasi nasional atau integrasi bangsa, tak diragukan lagi jiwa nasionalis para pejuang ALRI Divisi IV.
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur dalam tulisannya kepada bakabar.com mengungkapkan seperti apa peristiwa sejarah lahirnya proklamasi 17 Mei 1949 di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalsel.
Ketika musyawarah membahas pembentukan pemerintahan sendiri dipimpin oleh seorang Gubernur Tentara yang diadakan di sebuah rumah Desa Ambutun, Kecamatan Telaga Langsat, jumlah anggota musyawarah berkurang karena H Damanhuri, Budhigawis dan Hasnan Basuki tidak hadir.
Pada rapat itu Maxim Le Miaty (P Arya) ditugaskan membuat surat kepada delegasi pemerintah RI di Jakarta dan laporan kepada MPK Divisi IV di Jawa, tanpa mengetahui bahwa jabatan Gubernur Kalimantan dan MPK ALRI Divisi IV telah dibubarkan.
Laporan itu berisi tentang pembentukan pemerintahan darurat, pemerintah Republik diminta untuk mengakui ALRI Divisi IV sebagai pejuang RI dan gerilyanya sebagai gerilya RI, dan juga diusulkan supaya RI mengusahakan supaya tentara KNIL dan KL (Koninklijke Leger) ditarik dari Kalsel.
"Rombongan Pimpinan Umum menuju Niih, dan kedua rombongan lainnya setelah berpisah bertemu di Telaga Langsat nama samarannya Ambarawa," kata Mansyur.
Atas petunjuk Kepala Markas Pangkalan Rasyidi mereka menempati rumah Dumam yang terletak kira-kira 100 meter dari jalan di anak kampung Limau Gampang melakukan permusyawaratan yang diikuti oleh H Aberanie Sulaiman, Budhigawis, P Arya, Gusti Aman, Hasnan Basuki dan Romansi.
Ketua LKS2B Kalimantan ini menyampaikan, perundingan di kota Ambarawa dikawal ketat oleh pasukan Setia Budi dan Ibnu Hadjar yang selalu setia mengawal Hasan Basry setiap peristiwa penting dalam kancah perang gerilya.
"Rapat pada 15 Mei 1949 berhasil merumuskan struktur pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan," ujar Mansyur.
Gusti Aman mengusulkan agar pembentukan pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV ini dalam bentuk satu Proklamasi 17 Mei dengan penyusunan naskah awal ditugaskan kepada Maxim Le Miaty kemudian disempurnakan lagi bersama.
Agar lebih keras lagi isinya sebagai kalimat penutup, H Aberanie Sulaiman menambahkan kata-kata 'Dan jika perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan'.
Konsep asli ditulis dengan huruf balok menggunakan tinta merah, disimpan oleh Gusti Aman dan hilang ketika Gusti Aman (dibelakang harinya) ditahan oleh gerombolan Ibnu Hadjar. Perbanyakan konsep ini ditanda tangani kemudian oleh Pimpinan Umum Hasan Basry, dianggap sebagai lembaran yang asli.
"Hulu Sungai sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena seluruhnya sudah dapat dikuasai sepenuhnya. Hulu Sungai dijadikan modal perjuangan selanjutnya bagi daerah-daerah lain," terang Mansyur.
Kota-kota yang diduduki Belanda diblokade sehingga bahan makanan dan bahan yang dihasilkan rakyat tidak masuk kota.
Hanya barang-barang impor yang dilakukan Belanda masih mengalir.
Sebagian besar penduduk kota mengungsi ke luar kota, menetap di daerah yang dikuasai ALRI.
Di kampung-kampung dan hutan-hutan dibuka pasar baru guna menampung hasil rakyat.
"Bahan makanan dan lain-lain mengalir ke pasar-pasar baru ini dan jual beli dilakukan dengan mata uang sementara yang dikeluarkan oleh ALRI (Uang ALRI)," ungkapnya.
Modal kekuatan dan kekuasaan inilah yang menambah keyakinan dan dorongan untuk menyempurnakan langkah-langkah perjuangan.
Dengan modal ini pula dicetuskan sebuah proklamasi menurut program hasil musyawarah Markas Besar ALRI Divisi IV.
Pada malam hari, tanggal 15 menuju 16 Mei 1949, selesailah teks proklamasi itu dan diketik oleh Romansi.
Pada Sabtu 16 Mei 1949, sekitar pukul 10.00 pagi dibuatlah proses verbal mengenai musyawarah dan laporan rumusannya.
Maxim dan Hasnan Basuki ditugaskan untuk membawa dokumen itu kepada Pimpinan Umum Hasan Basry di Niih, tempat di mana Hasan Basry berada hanya diketahui oleh Hasnan Basuki.
Tanggal 16 Mei 1949 kira-kira pukul 17.00, rumah persembunyian Hasnan Basuki dapat ditemukan di Jambu Hulu, di rumah Guru Idar.
Rombongan bermalam satu malam dan keesokan harinya berangkat ke Hulu Banyu, melewati Lumpangi, Batantangan dan baru tiba pada sore harinya menjelang magrib di Niih.
Selanjutnya rombongan bertemu dengan Pimpinan Umum Hasan Basry dan ajudannya Tobelo untuk ditanda tangani Hasan Basry sebagai Gubernur Tentara di Niih.
Proklamasi 17 Mei dibacakan oleh Pimpinan Umum dalam suatu upacara di Mandapai yang dihadiri oleh pasukan penggempur, anggota Markas Pangkalan terdekat dan masyarakat setempat.
Berita proklamasi ini disebarkan dalam bentuk pamflet ke seluruh daerah.
Mansyur menjelaskan, mengingat proses pembentukan maupun isi dari teks proklamasi 17 Mei 1949 itu, maka nyata lah dasar dan tujuan proklamasi itu adalah menyatakan kebulatan hati rakyat untuk merealisasikan kekuasaan Republik Indonesia di Kalsel berlandaskan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menurutnya proklamasi 17 Mei juga sebagai bentuk pemerintahan yang sesuai dengan situasi perjuangan pemerintahan militer dengan pimpinan Gubernur Tentara, agar rakyat menyadari bahwa pemerintahan Belanda adalah pemerintahan pendudukan asing yang harus dibasmi.
Adanya pimpinan perjuangan berbentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Tentara ALRI Divisi IV, lebih meyakinkan rakyat akan berlakunya tertib hukum, tertib ekonomi, kejujuran dan keadilan, sebagaimana lazimnya dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian isu-isu tentang selalu dipergunakan kekerasan oleh kaum gerilya dapat dihindarkan.
"Proklamasi 17 Mei juga merupakan protes sekaligus pembangkangan terhadap pembentukan daerah otonom Kalimantan Tenggara dan Banjar yang terbentuk sebelumnya. Pemerintahan Gubernur Tentara ini kemudian ternyata berhasil menjadi daerah otonom Banjar dan Kalimantan Tenggara hanya berkuasa di atas kertas." pungkas Mansyur.