Bisnis

Memanasnya Konflik di Timur Tengah, Inflasi RI Terancam Naik

Memanasnya konflik Iran dan Israel akan memicu kenaikan harga minyak mentah dunia. Kondisi tersebut akan memberikan tekanan fiskal bagi Indonesia.

Featured-Image
Ilustrasi/kompas.com

bakabar.com, JAKARTA – Memanasnya suhu geopolitik di Timur Tengah, pasca serangan Iran ke Israel, dikhawatirkan kembali mengerek inflasi di Indonesia.


Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, memanasnya konflik Iran dan Israel akan memicu kenaikan harga minyak mentah dunia. Kondisi tersebut akan memberikan tekanan fiskal bagi Indonesia, karena kenaikan harga minyak akan membebani subsidi dan kompensasi energi.


Situasi ini, lanjut dia, dapat menyebabkan defisit fiskal yang melebar di tengah menurunnya penerimaan negara akibat normalisasi harga komoditas, sehingga meningkatkan pembiayaan anggaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan imbal hasil obligasi Indonesia.


“Naiknya tingkat inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat yang akan berdampak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” tutur Josua yang dikutip dari kontan.co.id, Kamis (17/4/2024).


Di samping itu, imbuh Josua, ruang kebijakan fiskal yang menyempit akibat pelebaran defisit tersebut akan membatasi belanja pemerintah yang produktif.


‘’Ruang kebijakan moneter yang menyempit juga dapat menekan kondisi likuiditas perekonomian, termasuk perbankan, sehingga suku bunga sulit turun, yang dapat meningkatkan biaya pinjaman bagi dunia usaha, yang berujung pada melambatnya kegiatan investasi,’’ ujarnya.


Selain itu, sambung Josua, kenaikan harga minyak dunia juga akan melemahkan ekspor neto. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terancam melemah atau melambat.


Ia menambahkan, munculnya kembali ancaman inflasi global juga dapat menghalangi bank-bank sentral utama untuk memangkas suku bunga kebijakan mereka.

Josua memperkirakan The Fed (Bank Sentral AS) kemungkinan akan terus mempertahankan kebijakan higher-for-longer secara terus-menerus jika inflasi terus berada di atas target 2% karena kenaikan harga energi.


“Tingginya suku bunga kebijakan global, ditambah dengan tekanan inflasi domestik dan defisit transaksi berjalan yang melebar, akan mempersempit ruang gerak Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan BI-rate dalam waktu dekat,” katanya.(*)

Editor


Komentar
Banner
Banner