bakabar.com, JAKARTA– Pembangunan smelter nikel pertama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanah Bumbu Kalimantan Selatan diharap mampu menyerap tenaga lokal sebanyak mungkin.
Ahli Kimia Universitas Lambung Mangkurat Muthia menyambut positif kehadiran smelter tersebut sebab berpotensi menyerap tenaga kerja hingga sebanyak 10.000 orang.
“Ya baguslah apalagi untuk alumni kita di Teknik Kimia. Kalau bisa diprioritaskan untuk bisa bekerja,” ucap Prof Muthia kepada bakabar.com melalui sambungan telepon, Rabu (21/12).
Menurutnya, pemerintah juga harus turut terlibat. Membuat regulasi yang berpihak kepada masyarakat khususnya mereka yang memiliki keahlian di Teknik Kimia.
"Bikinlah suatu aturan di mana alumni diprioritaskan untuk diterima dibanding alumni yang datang dari luar pulau,” ujar Muthia.
Warga Jadi Penonton
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Menurutnya, sudah ada beberapa kasus di mana terdapat sebuah pabrik di suatu daerah namun penduduk daerah itu tidak mendapatkan manfaat apapun. Sehingga aturan mengenai tenaga kerja memang harus menjadi prioritas dan perhatian serius dari pemerintah.
“Kalau nanti ambil orang untuk tenaga kerja apalagi sampai tenaga kerja asing, nanti jadinya yang kaya malah mereka. Sementara masyarakat kita di sini malah miskin,” papar Muthia.
Tak hanya itu, dirinya juga mengingatkan masyarakat untuk juga bisa meningkatkan pendidikan dan kealihan yang memang dibutuhkan. Peningkatan kemampuan diperlukan supaya masyarakat Kalimantan bisa memperoleh pekerjaan dan posisi yang strategis.
“Supaya mereka posisinya tidak hanya sebagai buruh atau operator saja, tapi mereka punya kemampuan dan dengan punya skill itu mereka bisa berkompetisi untuk masuk bekerja di perusahaan (Smelter) itu,” ungkap Muthia.
Alasan Indonesia Sulit Bikin Smelter
Indonesia dirasa sulit memiliki smelter nikel sendiri.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Alasannya, karena bank tidak memberikan kredit untuk pembangunan fasilitas pemurnian tersebut.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan perbankan nasional hanya mau membiayai jika perusahan mempunyai modal inti (ekuitas) di atas 30 persen sampai 40 persen.
Bahlil menyampaikan itu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (14/12).
Untuk membangun satu line smelter investasi yang dibutuhkan adalah sekitar US$250 juta hingga US$300 juta.
Dengan demikian untuk membangun empat line dibutuhkan investasi di atas US$1 miliar.
Bahlil membandingkan di negara lain, perbankan mau membiayai meski perusahaan hanya memiliki ekuitas 10 persen.
"Ini masalah besar, dan saya sudah ngomong berkali-kali, kalau ini nggak berubah, sampai ayam punya gigi, muka kaya saya, Pak Sarmuji, Pak Demer gak akan punya smelter di republik ini," ujar Bahlil dikutip dari cnnindonesia.com.
Oleh karena itu, ia mengatakan tak heran saat ini smelter di Indonesia hanya dimiliki oleh asing.
Pasalnya, mereka memiliki dana dan berinvestasi di Indonesia.
"Jadi, ini juga jadi masalah kita, kalau kemudian kita ribut, mohon maaf kenapa ini asing semua yang ambil bahan baku kita? Bos mereka yang investasi," kata Bhalil.
Sebelumnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sempat menyinggung RI yang masih belum punya smelter nikel sendiri.
Ia mengkritisi smelter di Tanah Air masih dikelola China.
JK pun mengatakan Kalla Group tengah membangun smelter nikel sendiri.
Menurutnya, smelter tersebut akan dikelola oleh anak negeri dan pekerjanya adalah warga sekitar.
Dia pun yakin pembangunan smelter itu bisa rampung tahun depan.
"Kita bikin smelter, kita belajar sendiri, Insya Allah tahun depan smelter pertama milik nasional akan beroperasi," kata JK beberapa waktu lalu.
JK menuturkan smelter yang sedang dibangun itu pun akan mengandalkan tenaga air alih-alih batu bara. Ia menekankan smelter buatan Indonesia harus bersumber dari energi bersih.