bakabar.com, BANJARMASIN – Ombudsman menaruh perhatian serius terhadap tata kelola pertanian di kabupaten/kota Kalimantan Selatan (Kalsel).
Tata kelola pertanian di Kalsel disinyalir masih amburadul. Pelbagai masalah masih menghantui para petani. Dari soal anggaran, pelatihan, harga pupuk mahal, termasuk dugaan diskriminasi bantuan tani.
Belum lagi lambatnya respons atas keluhan petani, hingga belum lengkapnya SOP (Standar Operasional Prosedur) dan SPP (Standar Pelayanan Publik) pertanian juga kerap ditemukan.
Berdasarkan hasil monitoring Kepatuhan Pelayanan Publik dari Ombudsman Kalsel sejak 2013 hingga 2021 menemukan bahwa dinas pertanian Kabupaten/Kota Kalsel masih minim dalam hal menyediakan standar pelayanan publik di sektor pertanian.
Ombudsman tak jarang mendapatkan laporan bahwa keluhan para petani kerap kali diabaikan oleh penyedia pengelola pengaduan pertanian.
"Kami sudah meminta klarifikasi langsung baik ke Dinas Pertanian Kabupaten/Kota di Kalsel, kelompok tani, para petani dan akademisi untuk menggali informasi. Serta melakukan telaah atas dokumen dan peraturan perundangan dan melakukan spot cek lapangan ke area pertanian," ucap Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel, Hadi Rahman, Jumat (29/10).
Hasilnya Ombudsman mendapati bahwa harga gabah selalu anjlok pada panen raya dikarenakan sebaran gabah yang dilakukan oleh Bulog rendah.
Sementara petani harus menjual gabah untuk membayar hutang pupuk, pestisida dan lainnya ketika sudah selesai panen.
Dengan demikian, para petani terpaksa menjual gabah dengan harga rendah yang ditawarkan tengkulak.
Selain itu, tahun ini, Ombudsman juga memberikan perhatian khusus terkait tata kelola pupuk bersubsidi.
Tak kurang sekitar Rp25 – Rp34 triliun pemerintah pusat menggelontorkan dana subsidi yang terindikasi pemanfaatannya belum berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani.
Terkait dengan pupuk bersubsidi yang diberikan pemerintah juga dinilai belum bisa memenuhi kebutuhan para petani.
Padahal para petani sudah menyampaikan kebutuhan pupuknya melalui RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani), namun faktanya kurang 50% kebutuhan pupuk petani yang diberikan pemerintah.
Penyampaian RDKK secara online juga dirasa belum efektif, karena para petani masih kesulitan dalam memasukan data kebutuhan pupuk petani ke sistem RDKK akibat terkendala jaringan.
Hal tersebut menyebabkan data menjadi tidak lengkap dan tidak terinput secara baik, akibatnya kebutuhan pupuk petani tidak terdata dan teranggarkan.
Permasalahan pupuk juga terjadi dalam proses distribusi. Stok pupuk kosong saat bulan Desember, Januari dan Februari sementara pada waktu tersebut bertepatan dengan masa tanam padi.
Hasil pengamatan tim Ombudsman di sejumlah kantor Dinas Pertanian Kalsel masih sangat terbatas dalam hal pemenuhan SPP.
Belum tersedianya fasilitas pengaduan yang efektif di sejumlah Dinas Pertanian di Kalsel baik dari sisi SOP Pengelola Pengaduan, penunjukan petugas pengelola pengaduan yang kompeten, serta tidak tersedianya fasilitas Industri Kecil dan Menengah (IKM) bagi publik khususnya para petani yang mengakses layanan di dinas pertanian.
"Dapat disimpulkan sektor pertanian menjadi sektor vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga kita menaruh perhatian pada sektor ini karena penting dalam ketahanan bangsa," pungkas Hadi Rahman.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai pelayanan publik dan tata kelola kebijakan di sektor pertanian perlu perhatian mendalam dari Ombudsman.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Diskusi Tematik "Membangun Kualitas Pelayanan Publik Pertanian" di aula kantor Ombudsman Perwakilan Kalimantan Selatan (Kalsel) pada Rabu (27/10) lalu.
"Yang kami hadapi bahwa masih banyak kebijakan di sektor pertanian yang perlu pengawalan dari Ombudsman demi membaiknya pelayanan publik," ucapnya.
Adanya wacana impor beras pada awal tahun 2021 menjadi perhatian besar Ombudsman dikarenakan bertepatan dengan hari panen raya sehingga berpotensi merugikan para petani.
Ombudsman juga menemukan maladministrasi dalam tata kelola beras pemerintah. Kebijakan dalam penetapan impor selama ini belum mempertimbangan semua aspek indikator seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Dalam hal penyaluran Beras Cadangan Pemerintah (BCP) kebijakan yang tidak komprehensif mengakibatkan beras turun mutu yang berpotensi merugikan negara.
"Tidak kurang dari 200 ribu ton beras turun mutu yang nilainya setara dengan 2 triliun dan ini ditanggung negara, dan ini akibat dari tata kelola yang tidak baik," ungkap Yeka.
Yeka juga menjelaskan bahwa ada indikator-indikator yang patut dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan.
"Kami breakdown ada 12 indikator yang perlu dipertimbangkan pemerintah ketika mengambil kebijakan keputusan importasi beras. Dan ke depan ke 12 indikator ini perlu diterapkan oleh Kemenko Bidang Perekonomian," pungkasnya.