Masyarakat Dayak Meratus memiliki tradisi gotong royong, dalam kegiatan menanam padi di gunung yang biasa disebut ‘manugal’. Dilakukan bergiliran, sampai semua warga telah selesai menanam padi.
Muhammad Hidayat, Loksado
Periode September-Oktober yang biasanya diprediksi puncak kemarau, masyarakat Dayak Meratus mulai ‘manyalukut’ atau membuka lahan dengan dibakar, sehingga saat musim penghujan tiba, padi sudah selesai ditanam.
Dipercaya, abu dari pembakaran bisa menjadi penyubur lahan yang akan ditanami padi. Sebab itulah, yang menjadi salah satu alasan adanya sistem ladang berpindah Masyarakat Dayak Meratus. Pasalnya, lahan yang akan ditanam harus sudah ditumbuhi kayu berumur agar bisa dibakar.
‘Manyalukut’ yang mereka lakukan sudah ada aturan adatnya. Seperti, diberi sekat di sekeliling lahan agar api tidak menjalar, dan mengundang pemilik lahan di sekeliling. Apabila api menjalar ke tanaman warga lain, denda adat bisa diberlakukan.
Selain itu, lahan yang dibakar dan ditanami padi tidak melebihi 1 hektare per keluarga. Sehingga api bisa dikendalikan, tak sampai mengganggu lingkungan berlebihan.
Tahun 2020 ini, bisa dikatakan warga kesulitan dalam pembakaran lahannya. Sebab, berkaitan cuaca yang selalu hujan tiap harinya. Ada lahan yang kehujanan saat belum habis terbakar, hingga ada warga yang selalu tertunda 'manyalukut' lahannya.
Setelah lahan bersih, maka siap ditanami padi.
Sehari sebelum kegiatan 'manugal', dilaksanakan ritual ‘pamataan’. Ritual selama sekitar 2 jam itu, dimaksudkan untuk memanggil roh leluhur yang akan menjaga dari hama dan pengganggu tanaman lainnya.
Di lokasi pamataan didirikan buluh kuning berhias daun aren muda, serta bunga-bungaan berwana merah dan kuning.
“Bunga-bunga dimaksudkan agar memberikan kesan wangi, agar roh leluhur yang menyambut doa atau panggilan itu tertarik datang dan menunggui tanaman,” ucap Kaldi, seorang pemuda Dayak Meratus.
Selain itu ada juga bambu kecil berisi air, bermakna sebuah sumur yang menyediakan air untuk kesuburan tanaman. Lalu, diletakkan pula bibit padi dan berbagai sesajian lainnya.
Pamataan dilengkapi dengan sebuah simbol bendera, yakni daun aren muda yang digantung di atas tiang bambu.
bakabar.com melihat langsung proses ‘manugal’ di Dusun Manutuy, Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Yakni, di salah satu sisi Gunung Tantaliru, sebuah lokasi lahan bernama Limbak Licak milik Hadi, warga Dusun Manutuy itu.
Sekitar pukul 6.30 Wita dengan udara dingin pegunungan, kurang-lebih 50 orang warga Dusun Manutuy berdatangan ke lahan milik Hadi. Tak ketinggalan parang yang selalu dibawa, dengan diikat dipinggang tiap orang. Hal itu sudah lazim bagi warga yang tinggal di Pegunungan Meratus, menyesuaikan kehidupan sehari-hari yang bertani dan berburu.
Alat 'tugal' bisa dibawa dari kampung maupun membikin langsung di lokasi, yakni terbuat dari batang kayu kecil sepanjang sekitar 2 meter yang diruncingkan ujung bawahnya.
Proses manugal, kaum laki-laki berbaris atau berjejer dengan berjalan maju sambil menghentakkan 'tugal' untuk melubangi tanah.
Menghentakkannya tidak perlu keras agar lubang tidak terlalu dalam, serta 'tugal' harus diputar saat menancap agar lubang sedikit lebar. Jarak antar lubang dikira-kira antara 10 sampai 20 sentimeter.
Sedangkan kaum wanita berada di belakang barisan laki-laki, bertugas mengisi lubang dengan biji padi yang menjadi bibit. Biji padi dibawa dengan bakul masing-masing.
Arah berjalan yakni dari bawah menuju atas, lalu jalur sebelahnya turun menuju bawah. Terus dilakukan turun-naik, sampai semua lahan tertanami.
Jika tak terbiasa, sulit dilakukan menanam padi di lereng gunung, terlebih lereng yang cukup curam. Namun hal itu sudah menjadi pekerjaan sehari-hari masyarakat Dayak Meratus.
Apabila lelah maka dipersilakan istirahat di gubuk yang baru dibangun sebelumnya, tersedia makanan dan minuman. Biasanya tiap satu jalur, maka warga istirahat sebentar sambil makan atau minum.Hadi mengungkapkan, lahan yang digarapnya tahun ini sekitar 3 burungan. Satuan ukuran masyarakat, 1 burungan sekitar 17×17 meter persegi.Bibit yang disediakan ungkapnya, sekitar satu karung biji padi yang sudah disiapkan dari hasil panen sebelumnya.
Kepala Desa Loklahung, Ibas mengatakan, tradisi manugal sudah dilakukan sejak nenek moyang dan kini terus dilakukan. Siapapun yang 'manugal' maka satu kampung turut membantu, sampai semua warga di kampung telah selesai 'manugal'.
"Ini merupakan (warga) giliran yang terakhir manugal di Manutuy, yang lainnya sudah dilakukan sama juga dengan gotong-royong," terang pria kelahiran 1982 itu, yang turut gotong-royong ‘manugal’.
Ibas mengungkapkan, Dusun Manutuy yang merupakan wilayah RT 2 itu dihuni sekitar 22 kepala keluarga (KK). Total warga di Desa Loklahung ungkapnya, sekitar 134 KK yang mayoritas adalah petani.
Setelah padi ditanam, selama masa pertumbuhan kembali dilakukan ritual sampai 2 kali. Hal itu untuk mendoakan agar tanaman tumbuh subur tidak diganggu hama.
Tradisi dan adat yang dilakukan sama di semua kampung adat Dayak Meratus, namun pada prosesnya kadang ada sedikit perbedaan antar kampung satu dengan kampung lainnya.
Padi dipanen setelah tanam sekitar 6 bulan, setelah panen satu kampung biasanya akan dilaksanakan aruh adat. Yakni, pesta adat untuk mensyukuri keberhasilan panen padi. Kekentalan adat dan budaya gotong-royong melebur jadi satu dalam kehidupan masyarakat Dayak Meratus.