bakabar.com, JAKARTA– Perasaan mencekam tak ubahnya menjalar ke sekujur tubuh, tatkala memasuki cawan Monumen Nasional — atau biasa disingkat Monas.
Sepanjang mata memandang, hanya cahaya temaram yang menerangi kawasan penuh diorama perjuangan ini.
Barangkali banyak yang tak paham, pemilihan lampu temaram itu bukanlah tanpa alasan.
Malahan, remang-remang cawan Monas mengandung makna mendalam, sebagaimana dituturkan salah seorang Humas Unit Pengelola Kawasan Monas, Nursamin.
“Diorama itu, kan, menggambarkan satu peristiwa. Dibuat itu (pencahayaan) sesuai momennya, kapan itu terjadi, entah siang, malam, di dalam atau luar ruangan,” ujarnya, seperti dikutip dari detikTravel, Senin (15/8).
Ya, pencahayaan ini disesuaikan dengan waktu terjadinya peristiwa di tiap diorama. Supaya, pengunjung dapat ikut merasakan betapa menegangkannya kejadian kala itu.
Nur, panggilan akrabnya, menuturkan konsep yang demikian adalah bagian dari hajat Bung Karno.
Konon, sang presiden tak ingin ruang edukasi itu sama seperti museum art pada umumnya.
Pria yang sudah bekerja di Monas sejak 1986 ini bahkan memaparkan, pencahayaan di cawan landmark Indonesia itu dulunya lebih gelap ketimbang sekarang.
Lampu plafon baru ditambahkan, usai pengunjung melontarkan komplain soal gelapnya Museum Monas.
“Mereka komplain, ‘kok ruang museum temaram dan gelap’, lalu ditambah lampu plafon. Padahal itu keluar dari pakemnya,” tuturnya.
Tentu saja, Nur sangat menyayangkan hal ini. Sebab, banyaknya lampu yang masuk ke diorama, justru membuat ‘sensasi natural’ sirna. (Nurisma)