Kalsel

Mahasiswi ULM Diperiksa Polisi Akibat Kritikan, Akademisi Uhaib As’ad Bicara Soal Radikal

apahabar.com, BANJARMASIN – Akademisi dari Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari (UNISKA MAB) Muhammad Uhaib As’ad…

Featured-Image
Akademisi dari Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari (UNISKA MAB) Muhammad Uhaib As’ad. Foto-dok.apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Akademisi dari Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari (UNISKA MAB) Muhammad Uhaib As’ad angkat bicara menanggapi soal mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang diperiksa polisi setelah menyampaikan kritikan di media sosial.

Uhaib mengamati soal cap radikalis terhadap mahasiswi Fakultas MIPA tersebut, sehingga dianggap berbahaya terlalu berlebihan dan mengada-ada.

“Istilah radikalisme adalah diksi yang diiklankan oleh Barat yang anti Islam dan para Islam phobia,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNISKA ini.

Celakanya kata Uhaib, jangan sampai lembaga perguruan tinggi atau kampus menjadi lembaga pengadilan yang mengadili pikiran seseorang termasuk dalam pemahaman keagamaan. Pemahaman keagamaan bukan milik seseorang yang bisa mengklaim kebenaran (claim truth).

“Saya tidak melihat fenomena radikalisme sebagai sebuah ancaman. Sekali lagi, istilah radikalisme adalah barang jualan Barat yang dilompatkan dalam struktur komunitas muslim,” ungkapnya.

Dijelaskan Uhaib, fenomena sosiologis munculnya gerakan radikalisme dalam pemahaman agama sesungguhnya bukan gejala baru.

Fenomena seperti ini dalam konteks Indonesia muncul di era tahun 1980-an seiringan perkembangan politik ekonomi dan pembangunan yang memarjinalkan kekuatan umat Islam.

Fenomena radikalisme pemahaman agama setidaknya ada dua argumen yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Pertama, praktik pemahaman agama mainstream mengalami pelapukan di tengah derasnya arus modernisasi dan sekularisasi agama.

Nilai-nilai dan institusi agama termarginalisasi, tergerus oleh gelombang peradaban modern sekulistik.

Di era liberalisasi peradaban modern ini institusi agama menghadapi nilai-nilai sekularisasi sementara doktrin dan institusi agama gagap menghadapi derasnya arus sekularisasi.

“Pemahaman mainstream yang ada dianggap lambat merespon menghadapi kompleksitas kehidupan,” imbuhnya.

Fenomena radikalisme keagamaan yang berkembangan saat ini sesungguhnya sebagai respon dari kejumudan doktrin dan institusi agama dalam menghadapi gelombang modernisasi sehingga perlu diformulasi kembali doktrin dan institusi agama untuk memberikan jawaban terhadap persoalan politik, ekonomi, sosial, dan keumatan.

Fenomena radikalisme yang sering dipersepsikan sebagai bentuk sempalan dari mainstream pemahaman yang selamat dianut oleh umat sehingga secara gamblang memberikan stereotip sebagai kelompok radikalis.

“Kelompok radikalis ini ditempatkan pada wilayah yang perlu dihujat atau tersesat,” pungkasnya.



Komentar
Banner
Banner