bakabar.com, BANJARMASIN - Ratusan mahasiswa se-Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kalsel, Senin (20/2).
Ada sejumlah isu krusial yang dibawa perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari 13 kampus di Kalsel untuk aksi hari ini.
Korwil BEM se-Kalsel, Yogi Ilmawan, menyampaikan mahasiswa menuntut isu lingkungan terkait longsornya jalan nasional di wilayah Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu.
Jalan tersebut, kata dia, merupakan jalur utama dalam proses distribusi logistik bagi masyarakat, tak hanya di Tanah Bumbu dan Kotabaru, tetapi juga bagi warga di Kalimantan Timur. Namun, hingga kini kondisi jalan tak ada perubahan.
"Maka dari itu, kami mempertanyakan tugas dan fungsi pengawasan mereka yang duduk sebagai anggota dewan di DPRD Kalsel. Kok, permasalahan jalan di Satui ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya pergerakan atau upaya perbaikan," ucapnya.
Baca Juga: Distributor Minuman Beralkohol di Palangka Raya Digugat Mantan Kepala Cabang, Jumlahnya Miliaran
Isu lainnya yang mereka bawa ke halaman gedung DPRD Kalsel yakni tentang KUHP baru. Dia menyampaikan sedikitnya ada 60 pasal kontroversial, seperti pasal 218 mengenai penghinaan presiden yang pelakunya diancam hukuman tiga tahun penjara.
Kemudian, pasal 256 yang mengancam pidana bagi penyelenggara unjuk rasa tanpa pemberitahuan dengan hukuman enam bulan penjara.
"Ini menunjukkan bahwa pemerintah sekarang anti kritik," imbuhnya.
Baca Juga: Polda Kalsel Ringkus Penyelundup 37 Kilo Sabu Lewat Pelabuhan Trisakti
Selanjutnya, pasal 349 yang bunyinya penghinaan kepada lembaga negara diancam hukuman penjara 1,5 tahun. Hukuman bisa diperberat apabila dilakukan melalui media sosial.
"Selain pasal 349, ada banyak pasal lainnya yang kami nilai itu pasal karet. Kalau ini diterapkan, tidak dipungkiri akan terjadi kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah," tegasnya.
Terakhir, lanjut dia, pasal 603. Di dalam pasal itu tertulis koruptor yang terbukti bersalah paling sedikit dihukum penjara dua tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, koruptor dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp 10 juta dan paling banyak Rp2 miliar.
Yogi menilai pasal ini sama saja memberikan peluang bagi para koruptor untuk mencuri uang rakyat.
"Tidak ada upaya untuk membebaskan negeri ini dari jeratan korupsi," tegasnya.
Baca Juga: Fakta Baru Wanita yang Kesurupan Sambil Teriak Histeris di Tabalong
Sikap lain yang mereka tunjukkan di depan kantor wakil rakyat yakni soal penolakan pada perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun yang diusulkan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI).
"Karena dari kajian kami, posisi pemerintahan yang paling banyak korupsi ada di tingkat desa. Artinya, kepala desa menjadi ladang korupsi terbesar di negara ini," ungkapnya.
Dia menilai apa yang diungkapkan mahasiswa terkait hal tersebut merupakan fakta yang benar-benar terjadi.
"Buktinya sekarang orang-orang berebut jadi kepala desa. Padahal, setiap tahunnya lebih dari 600 kepala desa ditangkap akibat memakan mengkorupsi dana desa," pungkasnya.