Sejarah Kota Banjarmasin

Lintasan Sejarah 1942: Banjarmasin Menyala, Martapura Berdarah

Pada malam 8 Februari 1942, tepat hari ini 81 tahun lalu, tatkala kapal KPM terakhir bertolak dari Banjarmasin, membuat kota itu terkepung kobaran api.

Featured-Image
Ilustrasi perang yang menyebabkan Banjarmasin luluh lantak diterjang api dan ledakan. Foto: Dok. Tirto.

bakabar.com, JAKARTA - Tak ada yang mengira bila kecamuk perang pasifik 1941 seketika mengubah wajah Kalimantan Selatan. Sebuah lintasan sejarah menempatkan Banjarmasin dalam pusaran adu kuasa Jepang dan Belanda. Akibatnya, Kota Seribu Sungai itu menyala bak lautan api.

Pada malam 8 Februari 1942, tepat hari ini 81 tahun lalu, tatkala kapal KPM terakhir bertolak dari Banjarmasin, membuat kota itu terkepung kobaran api. Di Banua Anyar dan Bagau, kaleng-kaleng berisi minyak tanah, minyak pelumas, bensin, avgas, dan avtur bertumpuk di banyak sudut.

Tertera di sebuah catatan bertajuk “Banzai! Operasi Militer Jepang untuk Menguasai Indonesia” oleh sejarawan Nino Oktorino, mengungkap bila tentara Belanda lemah dan kalah jumlah sehingga meminta bantuan pada milisi landwacht (sejenis hansip) dan Algemene Vernielings Corps (AVC). Seluruhnya berada dalam kesatuan untuk melakukan teknik bumi hangus apabila Jepang menduduki Kalimantan.

Lintasan Sejarah dalam Pusaran Perang

Tepat pada 25 Desember 1941 Lapangan Terbang Ulin (saat ini Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin) dibom Jepang. Sebulan berselang, sebuah pesawat Catalina Belanda, yang sebelumnya mendarat di sungai Barito, diberondong peluru oleh pesawat pemburu Jepang pada 21 Januari 1942.

Tragis, Catalina itu kemudian meledak dan hangus terbakar. Lapangan Terbang Ulin yang sedianya telah diperkuat oleh Belanda, namun persenjataannya terbilang ketinggalan dibanding Jepang.

Selanjutnya, pada tanggal 28 Januari 1942, Angkatan Udara Belanda mendaratkan sembilan pesawat Glenn Martin yang dipenuhi bom di Ulin. Tujuannya ialah untuk menyergap Angkatan Laut Jepang yang sedang atau akan melintasi selat Makassar.

Nahas, pesawat-pesawat Belanda itu kemudian diserang oleh lima pesawat Zero milik Jepang dan akhirnya hanya tersisa dua unit. Peperangan di Kalimantan Selatan pun semakin dekat.

Banjarmasin Membara, Balikpapan Jatuh

Sejarawan Ooi Keat Gin dalam The Japanese Occupation of Borneo, mencatat bahwa pada 24 Januari 1924 Balikpapan jatuh. Tentara Jepang bergerak menuju Pasir dan Tanah Grogot. Lantas mendarat di teluk Adang.

Dalam siasatnya, Belanda pun melaksanakan politik bumi hangus. Persediaan bensin, karet, instalasi-instalasi, pelabuhan, jembatan, kapal motor, dan sebagainya dirusak dan dibumihanguskan. Ratusan tentara Jepang dalam kelompok pertama  segera menerobos hutan-hutan ke arah Muara Uya. Sementara kelompok kedua melintasi sungai Pasir ke Tanah Grogot.

Selanjutnya, pada 4 Februari 1942, setelah melewati jalanan terjal dan curam, 20 prajuritnya tiba di Tanah Grogot. Invasi ke selatan pun terbuka bagi mereka dan orang-orang Belanda di Banjarmasin mulai gusar.

Dalam keadaan serba terdesak, Belanda pun melancarkan siasat pembumihangusan kota. Hulu Sungai menjadi daerah pertama yang dibakar karena antara Muara Uya dan Bungkang terdapat sekira 1.000 prajurit Jepang.

Pada 6 Februari 1942 Tanjung diduduki dan dua hari kemudian disusul Kandangan. Malam sebelumnya, pasukan Belanda membakar habis minyak, persediaan beras, dan karet. Beberapa jembatan juga diledakkan. Tiga buah kapal milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) masuk ke Banjarmasin untuk mengevakuasi penduduk Belanda yang terkurung di dalam kota.

Ledakan Mengepung Kota Banjarmasin

Kala itu, di tengah kota, gardu listrik ANIEM diledakkan dan hangus hingga tinggal fondasi. Tengah malamnya, Pelabuhan Banjarmasin mendapat giliran dan disusul instalasi radio di kantor pos.

Keesokan harinya, Lapangan Terbang Ulin pun dirusak. Amukan api bertambah dahsyat dengan pembakaran gudang getah, termasuk milik pengusaha Tionghoa Hok Tong, juga sebagian dari bangunan-bangunan Fort Tatas.

Jembatan Coen, satu-satunya jembatan yang menghubungkan kedua bagian kota, diledakkan pada jam 9 pagi. Banjarmasin luluh lantak oleh ledakan dinamit yang bersahutan.

Wajidi, seorang serawan menuliskan dalam artikelnya yang bertajuk “Pembantaian Komplotan Haga di Borneo Selatan” bahwa pemimpin pemerintahan Belanda, Gubernur B.J. Haga, beserta sejumlah kecil pemimpin terasnya kabur ke Kuala Kapuas, lalu ke Puruk Cahu.

Akibatnya, semua orang Belanda yang tidak sempat mengungsi mengikuti pelarian ini. Sedangkan komandannya, Halkema, kabur ke Kotawaringin dan kemudian terbang ke Jawa.

Lautan Darah Sungai Martapura

Masih dari catatan yang sama, diungkapkan pula jika tidak lama di Puruk Cahu, B.J. Haga dan anak buahnya lalu menyerahkan diri kepada penguasa militer Jepang di Banjarmasin pada awal April 1942. Mereka lantas dijadikan interniran.

M. Idwar Saleh dkk dalam Sejarah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional menyebut bahwa pada 8 Februari 1942 ini pula rakyat Banjarmasin turun ke jalan untuk menjarah. Mula-mula ke gudang-gudang milik firma Belanda, toko-toko Tionghoa, rumah-rumah orang Belanda, dan Grand Hotel. Malamnya rakyat membakar Pasar Baru.

Tak berhenti di sana, tengah harinya puluhan tentara Jepang yang mengendarai sepeda berhenti di muka Jembatan Coen yang telah putus. Mereka memerintahkan rakyat untuk menangkapi orang-orang Belanda. Jelang sore, Wali Kota R. Mulder menyerahkan diri. Ia diiringi Kepala Polisi Ruitenberg dan Meulemans.

Sungai Martapura menjadi saksi bisu, ketiga tokoh itu dibariskan di pinggir jembatan Coen yang telah putus dan ditembak mati. Mayat mereka dilempar ke sungai. Konon, orang Tionghoa yang ada saat itu dipaksa Jepang menonton peristiwa sadis tersebut, sebelum akhirnya mereka turut  dipancung kepalanya satu per satu.

Sebelum Rezim Fasis Dai Nippon Bertahta

Usai kejadian, tiga orang Belanda dibawa dan dibantai lagi di atas jembatan. Di Telawang, empat orang Belanda yaitu Luth (kontrolir Tanjung), Balk (kontrolir Pelaihari), Labrijn (inspektur polisi), dan H.J. Honing dijatuhi hukuman pancung sambil ditonton massa.

Mayat mereka dibiarkan bergelimpangan untuk meneror rakyat yang hadir. Teror Jepang itu berlangsung sepekan. Ketika pasukan Kaigun mengambil alih kota, ketertiban dan keamanan pelan-pelan ditegakkan.

Sejak itu, Banjarmasin dan seluruh bekas Hindia Belanda, pun menyongsong penguasa baru yaitu rezim fasis Dai Nippon.

Editor


Komentar
Banner
Banner