bakabar.com, MARABAHAN – Terkait pemblokiran lahan di perkebunan sawit oleh warga Desa Antar Baru, PT Barito Putera Plantation (BPP) tetap berpegang kepada hukum dan kebijakan Pemkab Barito Kuala (Batola).
Diawali kegusaran menunggu ganti rugi, sejumlah warga Desa Antar Baru di Kecamatan Marabahan, memasang portal di tiga titik yang berada di lahan PT BPP, Kamis (12/12).
Warga mengklaim 3.006 hektar lahan yang sudah digarap PT BPP, sah milik mereka. Kabsahan itu juga dibuktikan sejumlah sertipikat dan surat tanah lain.
Meski demikian, PT BPP tidak gegabah menyikapi pemblokiran dan klaim tersebut. Sebagai pemilik Hak Guna Usaha (HGU), mereka sepenuhnya menyerahkan penyelesaian kepada hukum yang berlaku.
“Atas pemblokiran lahan, kami menunggu mediasi yang segera dilakukan Pemkab Batola. Mereka yang menjelaskan duduk perkara sebenarnya,” papar Humas PT BPP, Abidin Noor, Jumat (13/12) malam.
“Kami menempatkan sepenuhnya persoalan ini dalam koridor hukum, karena lahan tersebut merupakan milik negara. Kami juga tak berniat merusak portal itu,” imbuhnya.
Status milik negara tersebut sebenarnya sudah ditegaskan sejak 1998, atau ketika PT Kodeco melalui anak perusahaan PT Banjarmasin Agro Jaya Mandiri (BAJM) mengantongi HGU di lahan yang dipersoalkan.
Asumsinya lahan yang berstatus HGU berarti sudah kadastral dan bebas dari hak kepemilikan masyarakat. Direncanakan HGU seluas 16.067 hektare tersebut, digunakan untuk komoditas kelapa hibrida.
Ketika dikuasai Kodeco, tak seorang pun yang mengklaim lahan tersebut. Bahkan masyarakat yang masuk mencari kayu galam di kawasan tersebut, harus meminta izin lebih dulu.
“Namun seiring penurunan bisnis Kodeco, ribuan lahan pun terlantar, termasuk di Antar Baru,” beber Abidin.
“Sampai akhirnya mulai 2009, Pemkab Batola berinisiatif menggandeng beberapa investor, termasuk BPP yang dimiliki almarhum HA Sulaiman HB, untuk menggarap banyak lahan terlantar,” sambungnya.
Lantas BPP mengambilalih HGU di Antar Baru. Namun BPP hanya membuat izin lokasi seluas 15.000 hektare, sedangkan sisanya diproyeksikan untuk plasma.
Kemudian untuk menyesuaikan Permentan Nomor 26/2007 yang mengharuskan perusahaan inti membangun plasma minimal 20 persen dari lahan inti, BPP menambah lahan plasma menjadi 3.000 hektare.
Namun sejak izin lokasi BPP terbit akhir 2009, beberapa masyarakat mencoba mengklaim kepemilikan lahan dan diikuti proses tukar jual lahan.
Padahal dalam perizinan itu, terdapat Surat Edaran Bupati Batola bahwa kepala desa tak diperbolehkan menerbitkan surat-surat untuk lahan yang berstatus milik negara.
“Kalau tetap ingin menerbitkan surat, mereka harus mendapat izin tertulis bupati. Tanpa izin itu, surat-surat kepemilikan menjadi cacat hukum dan batal demi hukum,” jelas Abidin.
“Tetapi kemudian muncul isu sumir yang menyebut status antara perusahaan dan warga mengambang sejak 2009, sekalipun sudah dilakukan mediasi. Padahal yang benar semua status sudah jelas,” tegasnya.
Akhirnya di pertengahan 2013, PT BPP memberikan santunan dan tali asih untuk membebaskan tanah negara yang diatasnya digunakan masyarakat.
“Itu bukan jual beli, melainkan pemberian santunan dan tali asih, karena lahan tersebut sudah bersih dari penguasaan masyarakat sejak dimasuki Kodeco,” beber Abidin.
“Kalau kemudian disebut turun-temurun, apakah lahan itu mereka miliki sebelum Kodeco? Ketika dikeruk mulai 1960, Anjir Talaran masih hutan dan cuma menjadi tempat warga desa-desa lain mencari galam,” tukasnya.
Dalam proses pemberian tali asih dan santunan, warga juga dilibatkan menjadi tim pembebasan lahan. Hanya ketika proses pemberian tali asih tinggal direalisasikan, beberapa anggota tim mundur.
“Mereka keberatan diberi tali asih dengan alasan uang yang terlalu sedikit. Tetapi BPP bekerjasama dengan Muspika Marabahan, tetap memberikan santunan sekitar Rp1 juta per kepala keluarga,” jelas Abidin.
“Sedangkan besaran tali asih memperhitungkan nilai ketergantungan masyarakat terhadap lahan tersebut,” tambahnya.
Proses penyerahan dilakukan tim bentukan desa. Mereka sekaligus menjadi penilai tingkat ketergantungan warga terhadap lahan tersebut.
“Lebih 600 kepala keluarga menerima santunan maupun tali asih itu. Namun cuma 13 orang yang menolak, karena beralasan terlalu sedikit dan masih mengaku sebagai pemilik lahan ratusan hektare,” papar Abidin.
Penolakan yang disebabkan klaim kepemilikan tersebut beberapa kali berujung di meja hijau. Putusan pertama berakhir dengan gugatan ditolak, karena cacat formil. Lantas muncul gugatan kedua yang kemudian dicabut
Beberapa tahun kemudian dengan bukti baru, persoalan ini disidangkan kembali. Namun sampai putusan kasasi, hakim menyatakan tanah tersebut memang milik negara.
Baca Juga: Pemerintah Remajakan Belasan Ribu Hektare Sawit Petani di Paser
Baca Juga: Portal Jalan Sawit PT BPP, Warga Antar Baru Didampingi Dayak Meratus