bakabar.com, BANJARMASIN – Kekeringan di Banjarmasin bukan hanya ada di dekade kedua abad 21. Kekeringan besar juga pernah terjadi sejak masa Hindia Belanda pada 1929.
Setidaknya, problem ini pernah diberitakan dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlandsh-Indie, Woensdag 6 November 1929 (vijf bladen no.255. 34e jaargang).
Baca Juga: Heli Water Bombing BNPP Kalsel Padamkan Api di Gunung Raja
“Dalam artikel berjudul Kekeringan di Borneo dipaparkan, terdapat banyak tempat di Borneo kekurangan air minum karena kekeringan jangka panjang,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Mansyur kepadabakabar.com, Jumat (26/7) siang.
Terjadi pendangkalan, kata dia, dibeberapa sungai dan sumur di Martapura serta Hulu Sungai. Debit air bersih sangat minim. Air minum hanya bisa didapatkan dengan susah payah. Seperti pada wilayah Gadung di Rantau, sungai benar-benar kering, sehingga gerobak sapi pun bisa masuk ke dalamnya.
Sebagian besar di tempat terdekat, seperti Banjarmasin, air payau atau asin, ditandai intrusi/ masuknya air laut. Tentu saja tidak layak dikonsumsi. Bahkan, air ini tidak cocok untuk mencuci pakaian.
Penduduk yang mampu, bisa sedikit menikmati kemewahan dengan simpanan beberapa tangki atau barel untuk menampung (menadah) air hujan. Air ini bisa dihemat pemakaiannya.
Namun, orang kecil (kurang mampu), terutama mereka yang tinggal cukup jauh dari gerai atau pusat penjualan air kota, harus siap menghadapi kekurangan air bersih. Air bersih memang ada. Tetapi air yang dipasok oleh penjual air lokal dari pedalaman, dijual kepada penduduk dengan harga agak tinggi.
Orang-orang lokal Banjar masih memiliki sedikit pemahaman tentang kebersihan. Padahal sangat diharapkan, air tersebut harus diperiksa pertama kali oleh Dinas Kesehatan, sebelum dijual ke masyarakat.
“Dalam koran tersebut juga dipaparkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda sudah memikirkan pasokan air yang sudah lama didambakan penduduk Bandjermasin,” katanya.
Keputusan akhir, kapan pembangunan fasilitas umum air bersih dimulai, masih belum terealisasi. Dewan Kota Bandjermasin memang telah menangani masalah ini. Namun, kesepakatan belum tercapai dengan pejabat di Batavia.
Sejak lima tahun sebelumnya, tahun 1924, alokasi dana dari Dewan kota untuk masalah air minum di Banjarmasin, masih minim.
Rincian penganggaran biaya untuk 1924, operasional Dewan Kota Banjarmasin23.305gulden, Pekerjaan Umum35.970gulden, Penyemprotan dan Layanan Kebersihan 1.000 gulden, Pemadam Kebakaran 9.900 gulden, Penerangan Jalan11.500gulden, Dinas Pasar16.420gulden, Persediaan Air Minum 1.750 dan sebagainya.
Pada saat terjadinya kekeringan panjang di Banjarmasin yang terjadi di November 1929 tersebut, pendiri pabrik air minum kemasan pertama di Hindia Belanda (Hygiea), Mr. Hen-drik Freerk Tillema (H.F. Tillema), melakukan perjalanan ke kota ini.
Hal ini diceritakan dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlandsh-Indie, Woensdag 6 November 1929 (Vijf Bladen No. 255, 34e Jaargang). Dalam rubrik tentang Kebersihan di Borneo banyak cerita mengemuka.
Mr. Hendrik Freerk Tillema, pendiri Pabrik air minum kemasan Hygeia. Pabrik air minum yang pertama ada di Hindia Belanda. Tiga tahun setelah Hygeia berdiri, Tillema duduk sebagai anggota dari Gemeente Raad (Dewan Kotapraja) Semarang.
Mengenai sosok Tillema, D.M.G Koch, dalam bukunya Batig Slot, Figuren uit het oude Indie, Tahun 1910, menuturkan Hendrik Freerk Tillema adalah pendiri Pabrik air minum kemasan Hygeia. Pabrik air minum yang pertama ada di Hindia Belanda.
Tiga tahun setelah Hygeia berdiri, Tillema duduk sebagai anggota dari Gemeente Raad (Dewan Kotapraja) Semarang. Tillema kelahiran Echten, Negeri Belanda pada 1870.
Tillema mengadakan perjalanan keliling Hindia Belanda, dimulai pada 1915. Satu kota yang dikunjunginya adalah Kota Banjarmasin.
Dalam koran Het Nieuws Vande Dag Voor Nederlan dsh-Indie, Mr. H.F. Tillema menceritakan tentang perjalanannya yang dimulai di Bandjermasin, wilayah Borneo bagian selatan. Kota Banjarmasin terletak pada wilayah yang rendah.
Karena itu topografinya berlumpur. Ketika menyusuri Kota Banjarmasin, yang pertama terlihat adalah kehadiran kontainer di rumah-rumah penduduk. Kontainer dimasud adalah wadah atau tempat menampung air hujan.
Penduduk Eropa menggunakan air hujan ini untuk air minum dan kebutuhan lainnya. Air hujan juga cukup untuk mandi dan mencuci. Sementara penduduk asli Banjar menggunakan air kalium.
Pada saat kekeringan, penduduk mengalami masalah besar. Karena kemudian tempat pasokan air bersih kosong, sementara air sungai tidak layak dikonsumsi.
Air minum harus dipasok dari tempat (sumber air) yang tidak mengalami pengaruh air laut. Sebagai alternatif hanya ada air kotor dari tempat kotor yang mengering, dari kali.
Air itu kotor dan sama sekali tidak layak pakai. Mr. H. F. Tillema pun memberikan masukan dan banyak saran untuk Dewan Kota mengenai masalah air bersih.
Baca Juga: Marak Kebakaran Lahan, Banjarbaru Tetapkan Status Siaga
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Syarif