bakabar.com, MARTAPURA – Matahari baru saja meninggi. Pagi tadi, Eniati sengaja tak bersiap diri.
Saban pagi, ia membuka warung makan persis di depan rumahnya.
Belakangan ini, tidurnya tak nyenyak. Mimpi buruk yang selama ini dikuatirkannya sebentar lagi tiba.
“Hari ini gak jualan. Katanya Satpol PP mau datang,” ungkapnya ditemui bakabar.com di depan warung jualannya, Jalan Albasia IV Kelurahan Jawa, Martapura, Kamis (05/12) pagi.
Sambil duduk termenung, perempuan paruh baya itu melayani wawancara dengan bakabar.com.
Seakan paham akan kedatangan media ini. Tanpa diminta, dia mulai berkeluh kesah.
Semua bermula dari rencana pemerintah mengosongkan lahan rumah yang telah dia tempati selama puluhan tahun itu.
Pasalnya, lahan rumah Eniati berada persis di depan pembangunan Puskesmas untuk relokasi instalasi farmasi kesehatan (FIK) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar. Relokasi berjalan sejak 9 Juli lalu.
“Sebenarnya kami minta damai, minta ganti. Tapi ya jangan dikasih lima juta-lah. Pemda keras, ya aku tolak. Dapat apa cuma segitu,” ucapnya meninggi.
Rumah Eniati cukup sederhana. Sebagian besar rumahnya berdinding kayu. Pelatarannya sudah disemen, dan sebagian lagi dikeramik.
Eniati tambah geram. Manakala lahannya dituding bersengketa. Eniati menempati rumah itu sejak 1978. Dua tahun kemudian, sang suami diminta untuk membeli lahan tersebut secara legal.
“Ada surat-surat pembeliannya lengkap. Bahkan, surat dari bupati sebelumnya juga ada,” sebutnya.
Untuk menghidupi keluarga, Eniati dan suami membuka sebuah warung kecil.
Bisnis rumahan itu dirintis bersama sang suami yang berhenti bekerja pada 2012 silam. Anak-anaknya yang sudah bekerja terkadang ikut membantu dapurnya tetap mengepul.
“Hari-hari bikin peyek, untuk makan. Anak-anak ada yang di sini belum punya harta apapun, bahkan ada yang punya anak lima,” ungkapnya.
Belum sempat menuntaskan kisahnya. Ketakutan yang mulanya cuma di angan-angan pun benar benar tiba. Selang kemudian, rombongan Satpol PP datang.
Didampingi kuasa hukum yang saat itu juga berhadir. Negosiasi alot antarkedua belah pihak berlangsung.
Menanti keputusan pemerintah atas hak rumah miliknya, Eniati cukup berpasrah diri.
Tidak ingin proses berlarut-larut, ia berulang kali mengajukan isyarat damai kepada petugas.
Eniati bahkan beberapa kali tersungkur. Tak kuasa menahan tangis. Sesekali dia juga berteriak memohon kepada para petugas.
Suasana sempat memanas, tatkala keluarga menghalangi petugas yang hendak membongkar rumah.
“Gimana caranya saya minta ganti saja. Dipinjemin nanti akhirnya gimana. Pindah lagi, kan bukan punya saya. Mending pasang tenda, biar aja tidur di sini,” lirihnya.
Meski terbilang alot, dari hasil negosiasi kuasa hukum Eniati dan pihak Satpol PP Banjar. Diputuskan bahwa pagi tadi hanya dilakukan pengosongan saja.
Barang-barang yang dikosongkan pun kebanyakan bukan barang bernilai. Hanya beberapa kursi kayu, baju, dan kasur.
“Alhamdulillah ada solusi sementara dulu. Sembari menunggu proses mediasi dan proses pengadilan,” ungkap Kuasa hukum Eniati, Syamsul Bahri kepada awak media.
Walhasil, meski sudah menerjunkan puluhan personel, Satpol PP banjar harus gigit jari. Mereka batal membongkar rumah Eniati, meski untuk sementara waktu.
Baca Juga: Negoisasi Buntu Pembongkaran Rumah di Banjar: "Kalau Tidak Terima Langsung ke Bupati!"
Baca Juga: Eksekusi Penggusuran, Isak Tangis Pecah di Kolong Jembatan Antasari
Reporter: Musnita Sari
Editor: Fariz Fadhillah