bakabar.com, JAKARTA – Sosoknya tertera dalam pecahan uang Rp.5.000. Idham Chalid dikenal sebagai seorang kiai sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia.
Idham Chalid lahir di Satui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921. Sejak kecil ia dikenal cerdas dan memiliki bakat retorika yang mampu membius setiap telinga yang mendengarnya.
Ia menempuh pendidikan awal di sekolah rakyat (SR) hingga menjadi santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jatim pada 1922.
Meski menempuh pendidikan dalam pesantren, namun Idham Chalid memiliki kemampuan multi bahasa. Ia mampu berbahasa Jepang, Inggris, dan Arab. Bahkan dikenal sebagai penyambung lidah para ulama dengan penjajah Jepang.
Ia juga aktif terlibat sebagai pejuang rakyat dengan menjadi bagian dari beberapa organisasi termasuk salah satunya adlaah Masyumi.
Baca Juga: Mengenang Rasuna Said: Pejuang Kemerdekaan dari Tanah Minang
Lantas, ketika Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi karena perbedaan politik, Idham Chalid bergabung dengan Partai NU. Ia menakhodai partai NU hingga menjadi salah satu kekuatan terbesar di zaman itu.
Bahkan pada Pemilu 1955, di bawah kepemimpinannya, partai NU mampu memperoleh suara nomor 3 setelah PNI dan Masyumi.
Kesuksesan itu berhasil membawa Idham Chalid ke dalam konsep kepemimpinan berbeda, di mana kehadiran ulama sebagai penyeimbang yang selalu berada dalam posisi tengah dalam setiap pengambilan keputusan.
Idham Chalid cukup dekat dengan Bung Karno dan bahkan dianggap terlalu dekat hingga kadang membuat sejumlah pihak kebingungan dengan gaya politiknya.
Kesuksesan itu membuatnya menjadi, Ketum PBNU dengan masa jabatan terlama, yakni dari 1956-1984 atau selama 28 tahun. Pengganti setelahnya adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kelak jadi Presiden ke-4 RI.
Selama masa periode kepemimpinan Presiden Soekarno, ia sempat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada 1956.
Kemudian paska peristiwa 30 September, ketika Presiden Soeharto mulai memimpin, Idham Chalid dipercaya sebagai anggota DPR-MPR, namun tetap menjaga gaya kepemimpinan ulama sebagai penyeimbang.
Ia masih menjabat ketum PBNU dan secara politik tetap kuat, Soeharto tentu tidak mau ambil risiko menghadapi kekuatan politik yang besar itu.
Ketika Soeharto membuat unifikasi partai pada 1971, Idham Chalid mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai penyeimbang PDI dan Golkar kala itu.
Setelah mengabdikan hidupnya untuk umat, KH Idham Chalid pun berpulang pada 11 Juli 2010 di Kompleks Pondok Pesantren Yatim Piatu Darul Qur’an, Jalan Raya Puncak, Cisarua.
Makam Idham Chalid hingga saat ini masih ramai dikunjungi untuk berziarah, namun tidak hanya warga NU semata, tapi juga oleh berbagai kalangan.
Pemerintah Indonesia menobatkan Idham Chalid sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011 lalu, berdasarkan SK Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011