bakabar.com, JAKARTA - Tujuh puluh empat tahun silam, tepatnya pada 26 Januari 1949, maskapai komersial pertama di Indonesia perdana mengudara. Tanggal tersebut sekaligus diyakini sebagai hari tanggap warsa Garuda Indonesia.
Selama bertahun-tahun, Garuda Indonesian Airways (GIA) dipercaya lahir pada 26 Januari. Anggapan ini bermula pada 1979, ketika Wiweko selaku direktur utama maskapai tersebut mendapat hibah hari ulang tahun dari Kepala Staf TNI AU kala itu, Ashadi Tjahjadi.
Surat hibah tersebut diketik rangkap enam pada kertas dinas berlogo TNI AU. Sejarawan militer Nugroho Notosusanto pun tercantum sebagai saksi. Namun, anehnya, surat itu tidak dilengkapi nomor registrasi dan cap jabatan KSAU.
Kejanggalan yang demikian lantas membuat sejumlah pihak mempertanyakan kebenaran di balik 26 Januari. Benarkah GIA lahir di tanggal itu? Juga, benarkah maskapai ini merupakan ahli waris Indonesian Airways?
Penerbangan Perdana Seulawah
Memang benar adanya, pada 26 Januari 1949, burung besi komersial milik Indonesia perdana mengudara. Namun, itu bukanlah Garuda Indonesia, melainkan pesawat empunya Indonesian Airways bernama Seulawah.
Pesawat dengan nomor RI-001 itu terbang dengan rute Kalkuta-Rangon. Penerbangan yang demikian rupanya telah dicanangkan enam bulan sebelumnya, atau pada 16 Juni 1948, saat Presiden Soekarno berpidato.
Kala itu, Bung Karno berkata Indonesia membutuhkan pesawat untuk pertahanan udara serta penghubung antarpulau. Pidato tersebut berkaitan dengan gagasan KSAU waktu itu, Komodor Udara Suryadi Suryadarma.
Untuk merealisasikan kepentingan pembelian pesawat itu, Suryadarma membentuk Fond Dakota. Dia lantas menunjuk Opsir Muda Udara II Wiweko Soepono sebagai Kepala Biro Rencana dan Propaganda.
Selain itu, ditunjuk pula Opsir Muda Udara Salatun sebagai Kepala Biro Penerangan. Salatun lantas menggalang dana ke pelbagai daerah di Sumatra, beriringan dengan lawatan Presiden Soekarno.
Urunan Dana dari Tanah Sumatra
Sumatra tak serta merta dipilih begitu saja sebagai lokasi ‘urunan’ dana pesawat. Mengingat kala itu Belanda masih memblokade Indonesia, Tanah Emas dianggap lebih memungkinkan untuk ‘menyelundupkan’ hubungan dagang dengan luar negeri.
Atas alasan geografis yang demikian, sejumlah daerah di Tanah Sumatra pun dijadikan sasaran dana Dakota. Kawasan yang dituju meliputi Lampung, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Bukittinggi, Tapanuli, dan Aceh.
Tentu saja warga di sana tak serta merta menyumbangkan hartanya untuk pembelian pesawat. Namun, kepiawaian Bung Karno dalam ‘bersilat lidah’ agaknya sukses menggugah rakyat Aceh untuk berderma demi Republik.
Segera setelah pidato usai, terbentuklah Panitia Dana Dakota yang diketuai Djuned Yusuf dan Muhammad Al Habsji. Ada pula Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) yang urun serta.
Tak tanggung-tanggung, Daud Beureueh dalam Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (2011) menyebut dana yang terkumpul kala itu mencapai 130 ribu straits-dollar hanya dalam dua hari kampanye. Angka tersebut pun cuma bersumber dari Gasida.
Dengan dana sejumlah itu saja sebenarnya bisa terbeli dua buah Dakota. Opsir Wiweko lantas ditugaskan membeli pesawat dengan dana itu. Terbanglah dia ke Filipina dan membeli sebuah pesawat Dakota milik Amerika Serikat.
Sayangnya, pesawat itu tak bisa langsung sampai di Indonesia. Burung besi itu berkelana dari satu negara ke negara lain; mulai diterbangkan dari Hong Kong, Yogyakarta, lalu baru sampai ke Aceh.
Pesawat Dakota itu baru mendarat di Tanah Air pada Oktober 1948. Burung besi itulah yang lantas diberi nomor registrasi RI-001 dengan nama Seulawah dan menjadi alat transportasi bagi pejabat negara.
Beda ‘Rahim’ dengan Maskapai Garuda Indonesia
RI-001 Seulawah yang dioperasikan dengan nama perusahaan Indonesian Airways tak seperti pesawat komersial lainnya. Burung besi ini tak mengangkut penumpang perorangan; melainkan digunakan dalam operasi militer.
Adapun Garuda Indonesia baru lahir pada 1950-an, ketika kondisi sosial politik di Tanah Air mulai stabil. Kurniawan dalam Menelusuri Jejak Awal Penerbangan di Indonesia menyebut maskapai tersebut lahir dari penerbangan Belanda.
Ya, di masa penjajahan, sejatinya di Indonesia juga sudah beroperasi pesawat komersial. Ini berada di bawah kendali Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang eksis sejak 1928.
Semenjak kondisi stabil, Pemerintah Indonesia menasionalisasikan sebagian aset KNILM. Ini dilakukan melalui diplomasi dengan perusahaan induk maskapai itu yang berbasis di Belanda, Koninklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) pada 1954.