bakabar.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Sosial. Lewat aturan ini, pemerintah mengganti sistem kelas 1, 2, 3 dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Dalam sistem KRIS, ruang perawatan yang diterima oleh semua peserta akan relatif serupa. Pemerintah menetapkan 12 kriteria yang harus dimiliki ruang perawatan bagi semua peserta BPJS, seperti ventilasi ruangan, temperatur ruangan, hingga kamar mandi di dalam ruangan.
Sistem KRIS ditargetkan akan diselenggarakan di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS paling lambat 30 Juni 2025. Sementara, penetapan iuran, manfaat dan tarif akan diputuskan paling lambat 1 Juli 2025.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan, besaran iuran peserta memang belum diatur dalam Perpres 59/2024. Dia mengatakan selama masa transisi hingga 1 Juli 2025, peserta masih membayar iuran seperti yang tertera dalam aturan sebelumnya yang masih memuat kelas 1, 2, 3.
"Masih merujuk pada Pasal di Perpres Nomor 64 Tahun 2022 tentang Jaminan Kesehatan," kata dia, dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (14/5/2024).
Menurut Asih, DJSN dan pihak yang terkait lainnya masih menghitung besaran iuran yang harus dibayarkan tiap peserta. Penerapan sistem KRIS ini dilakukan untuk meningkatkan mutu jaminan kesehatan nasional.
"JKN akan semakin menguat mutunya," kata dia.
Senada, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan besaran iuran untuk para peserta dalam sistem KRIS akan tetap berbeda, sebagaimana berlaku saat ini. Dia mengatakan khusus untuk golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) akan memiliki kewajiban yang lebih kecil.
"Iuran PBI tidak mungkin sama dengan iuran kelompok peserta lain," kata Ghufron.
Untuk diketahui, peserta dengan label PBI adalah peserta BPJS yang iurannya dibayarkan oleh APBN. Mereka masuk dalam kelompok yang dianggap miskin sehingga perlu dibantu untuk membayar iuran BPJS.
Ghufron masih belum membeberkan besaran iuran yang harus dibayarkan oleh kelompok PBI ini. Menurutnya, besaran iuran dalam sistem KRIS untuk seluruh kelompok memang masih dalam tahap pembahasan. Meski begitu, dia memastikan bahwa iuran yang dibayarkan peserta tetap berbeda-beda.
"Tentu iuran tidak sama, kalau sama di mana gotong-royongnya?" kata dia.
Menurut Ghufrin, besaran tarif akan didiskusikan antara Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan BPJS.
Pembahasan mengenai jumlah iuran itu, kata dia, juga akan dilakukan bersama Kementerian Keuangan. Pembahasan dengan Kemenkeu, kata dia, dilakukan untuk menentukan indikator-indikator yang dipakai ketika menetapkan klasifikasi besaran iuran bagi setiap peserta yang berbeda-beda.
"Nanti didiskusikan dahulu dengan Kemenkeu," kata dia.(*)