bakabar.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) meyakini penutupan tiga bank di Amerika Serikat (AS), di antaranya Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, serta Signature Bank tidak akan berpengaruh besar terhadap kondisi perbankan di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI Firman Mochtar di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Senin (20/3), menyampaikan BI bersama tiga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lain, yaitu Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus melakukan komunikasi ke pemangku kepentingan lain untuk menjaga ekspektasi keberlangsungan pasar keuangan domestik.
ââââââ
“BI menjaga ekspektasi, ekspektasi dibangun atas kredibilitas. Kalau kredibilitas terbangun, maka ekspektasi akan terjaga dengan baik. Tentunya support membangun ekspektasi adalah komunikasi, makanya kalau Anda lihat otoritas langsung menyampaikan komunikasi untuk membangun ekspektasi,” ujar Firman.
Dia melanjutkan, BI juga melakukan stress test untuk melihat sejauh mana kekuatan sektor perbankan, dengan melihat sisi portofolio, liabilitas, serta aset yang dipengaruhi oleh indikator ekonomi makro.
Baca Juga: Kejatuhan SVB Bikin Amerika Krisis, Amvesindo: Dampaknya Relatif Kecil
Selain itu, BI juga melakukan mitigasi terhadap perilaku para pelaku pasar keuangan domestik setelah penutupan tiga bank di AS tersebut.
“Dimulai dari perilaku penempatan dana di negara berkembang termasuk Indonesia kan berpengaruh melalui nilai tukar. Dari sisi kebijakan moneter kita tentu akan mitigasi instability di pasar valas maupun di pasar keuangan,” kata Firman.
Pada kesempatan sama, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyebut tetap waspada meskipun kondisi perbankan Indonesia dinilai bisa mengantisipasi dampak tiga bank di AS. Dengan demikian, BI tetap berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan domestik.
“Komunikasi di antara KSSK terus dilakukan, bahkan day to day untuk memastikan. Kesimpulan dari diskusi itu memang masih menyatakan bahwa ketahanan perbankan Indonesia ini masih cukup bagus,” ujar Erwin.
Baca Juga: BI Perintahkan Perbankan Waspadai Dampak Krisis Finansial Amerika
Indikator stabilitas perbankan Indonesia terlihat dari rasio kecukupan modal perbankan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 25,93 persen pada Januari 2023.
Kemudian, likuiditas industri perbankan di awal 2023 masih di atas threshold, di antaranya Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) pada Januari 2023 yang masing-masing tercatat sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen.
Rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) net perbankan sebesar 0,76 persen dan NPL gross sebesar 2,59 persen pada Januari 2023.
“Angka CAD sebesar 25,93 persen jauh dari standar biasa. Sementara itu alat likuid kalau dibandingkan DPK sekarang angkanya 29 persen ini jauh dari 20 persen, artinya alat likuid perbankan kita secara keseluruhan jauh melebihi kebutuhannya,” kata Erwin.
Baca Juga: Penutupan SVB, OJK: Tidak Berdampak Langsung ke Bank di Indonesia
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan fenomena krisis Credit Suisse adalah masalah lama yang berulang, yang mana kredit hingga investasi obligasi di bank tersebut bermasalah.
"Diperparah dengan sentimen negatif yang terjadi akhir-akhir ini yang kemarin Saudi National Bank nggak bisa tambah modalnya. Karena aturan otoritas Swiss di sana, asing hanya boleh sampai 10 persen, tidak bisa tambah lagi," ujar David.