bakabar.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mengincar lahan baru di Kalimantan untuk persiapan pencetakan sawah baru guna tangkal potensi kelangkaan atau krisis pangan seperti diprediksi oleh Organisasi Pangan Dunia (Food Agriculture Organization/FAO).
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan lokasi tersebut berada di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Lahan yang dipersiapkan seluas 75.000 hektar (Ha).
“Untuk menopang ketahanan pangan terkait warning dari FAO yang akan terjadi krisis pangan, kita telah menyiapkan lahan intensifikasi pertanian di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan lahan kurang lebih 75.000 hektar (Ha),” kata Halim saat rapat virtual dengan Komisi V DPR RI seperti dilansir detikcom, Senin (11/05).
Halim menjelaskan, selama ini produksi pertanian di wilayah tersebut sebesar 3 ton per Ha. Jika dilakukan intensifikasi, Halim bilang, bisa menghasilkan hingga 5 ton per Ha.
“Kalau selama ini produksi pertanian di sana 3 ton per Ha, diharapkan dengan intensifikasi jadi 4 ton atau 5 ton (per Ha),” ucapnya.
“Beberapa hari terakhir ini kita diskusikan dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian dan lain-lain,” tambahnya.
Klik halaman selanjutnya untuk berita lainnya soal cetak sawah.
Pengamat Menilai Tak Tepat
Sejumlah pengamat dan akademisi pertanian menilai langkah Jokowi ini tak tepat untuk menjawab prediksi krisis pangan dari FAO. Bahkan, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) periode 2010-2011 menilai rencana itu punya risiko kerusakan ekologis yang besar.
“Gambut itu punya sensitivitas ekologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan lain, misalnya vulkanis kering. Artinya ya jangan sampai membuka lahan gambut itu, mengorbankan aspek-aspek ekologis tadi yang dampak lingkungan yang lebih serius,” ungkap Bayu dikutip dari detikcom, Jumat (08/05).
Ia sendiri memahami dengan prediksi FAO pemerintah tak bisa santai saja dalam mengelola pertanian. Namun, menurutnya mengambil langkah optimalisasi lahan gambut merupakan langkah yang ‘terburu’buru’.
“Yes ada warning dari FAO, yes itu serius, kita tidak bisa berleha-leha, berlebih-lebih dengan makanan kita. Kita harus sangat cermat, sangat aware, sangat memantau dengan sangat baik. Tetapi juga nggak perlu dengan itu kemudian menabrak ekosistem kan juga enggak. Kemudian kita melupakan kesalahan-kesalahan masalah lalu kan juga enggak,” tegas dia.
Program cetak sawah baru juga dinilai tak menjawab permasalahan pangan yang ada di depan mata. Sebab hasilnya baru bisa dirasakan bertahun-tahun mendatang.
Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengatakan seharusnya pemerintah mengambil jalan keluar jangka pendek dengan meningkatkan produktivitas, bukan cetak sawah. Konsep yang ada terkait peningkatan produksi padi dinilai harus diperbaiki.
“Untuk menjawab jangka pendek ini harusnya meningkatkan produktivitas dan pemerintah harus mengubah konsepnya selama ini karena kenyataannya kalau program berhasil mengapa 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2020 ini produksi padi terus menurun? Padahal seluruh program hampir semuanya ditujukan untuk produksi padi. Berarti salah di programnya,” kata Andreas kepada detikcom, Rabu (6/5/2020).
Adapun cara untuk meningkatkan produksi yakni, pertama pemerintah harus menjamin harga yang menguntungkan pusat tani. Jika itu terjadi, petani dinilai akan lebih bergairah untuk menanam.
Kedua, ubah seluruh subsidi bantuan alsintan dan sebagainya melalui pembayaran langsung ke petani. Dengan begitu, petani bisa memilih benih sendiri yang terbaik untuk mereka tanam.
“Biar petani nanti yang menentukan sendiri dia mau nanam benih apa. Jadi uangnya serahkan saja langsung ke petani karena syarat kepentingan, bantuan-bantuan seperti itu,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy meyakini rencana ini sangat efektif. Sarwo menuturkan, pemanfaatan lahan rawa gambut ini bisa jadi masa depan pertanian Indonesia.
“Ya sangat efektif karena kalau kering itu lahan yang bisa ditanami adalah di rawa. Kan kalau musim kering berarti di rawa surut, itulah potensi masa depan bangsa Indonesia sebetulnya di rawa,” kata Sarwo dilansir detikcom, Jumat (08/05).
Ia menjelaskan, ketika musim hujan Indonesia bisa mengandalkan sawah reguler. Namun, ketika musim kemarau maka lahan rawa gambut adalah jawabannya.
“Ketika musim hujan di sawah reguler itu yang kita andalkan, ketika musim kemarau sasaran kita di rawa, dan biasanya hasilnya bagus,” tutur Sarwo.
Selain itu, dengan kemajuan teknologi pertanian saat ini, ia yakin lahan rawa gambut itu bisa segera dioptimalisasi sebagai sawah padi.
“Kalau sekarang kan sudah dengan pola mekanisasi. Jadi sudah mengubah pola petani tradisional ke modern. Sekarang ada traktor amfibi untuk di rawa. Kalau dulu 1 Ha mungkin dilakukan oleh 15 orang selama 5-6 hari. Ini bandingannya, kalau mencangkul manual. Tapi kalau dengan alsintan, traktor amfibi yang khusus di rawa, itu paling 1 Ha 2 jam selesai. Supirnya kan 1, ya 1-2 cukup,” terangnya.
Menurut Sarwo, saat ini pemerintah masih terus membahas teknis pelaksanaannya lebih lanjut. Namun, ia mengatakan targetnya di bulan Mei ini lahan rawa gambut tersebut bisa mulai dikerjakan untuk jadi sawah baru.
“Optimalisasi ya diupayakan di bulan Mei ini, tapi ini masih rapat-rapat,” pungkasnya.(Dtk)
Editor: Aprianoor