bakabar.com, JAKARTA - Jepang membuang lebih dari 1 juta ton air limbah nuklir PLTN Fukushima ke Samudera Pasific. Walau menyatakan aman namun banyak aktivis menentangnya.
Jepang telah memulai membuang air limbah yang diolah dari PLTN Fukushima pada Kamis (24/8), dan masih akan berlangsung selama beberapa hari.
Air tersebut sebelumnya disimpan dalam tangki sejak 2011 dan digunakan untuk mendinginkan reaktor radioaktif di Daiichi.
"Kami akan melakukan yang terbaik dan agar air yang dilepaskan di atas dari standar keamanan," kata seorang pejabat pemerintah Jepang, dikutip Science.
Jepang juga memberikan klarifikasi bahwa rincian pelepasan air tersebut sudah diselesaikan dan disetujui dan itu memerlukan waktu 40 tahun untuk menyelesaikannya.
Mempengaruhi Gen Biota Laut
Para ahli lingkungan sudah menyampaikan, melakukan pelepasan bahan radioaktif ke laut lepas tanpa pengawasan, akan mengganggu kehidupan bahari lingkungan dan memungkinkan mutasi gen pada biota laut terjadi.
Potensi risiko dapat muncul jika air tersebut belum sepenuhnya bebas dari zat radioaktif, termasuk juga dampak kesehatan lainnya.
Shigeyoshi Otosaka, ahli geokimia lautan di Universitas Tokyo turut menyampaikan rasa khawatirnya mengenai akumulasi isotop di sedimen dasar laut yang dapat diserap oleh biota laut.
"Sangat penting untuk mengevaluasi dengan tepat dan mengawasi proses pelepasan air dalam jangka waktu lama," katanya.
Banyak pakar yang khawatir ikan yang ada di laut Jepang akan terdampak pembuangan limbah tersebut. Padahal Jepang adalah penghasil ikan terbesar di dunia.
Tidak hanya bagi kehidupan laut, menurut data terbuka, manusia yang terus terekspos dalam radiasi tritium akan mengakibatkan kerusakan pada sel dan DNA.
Namun International Atomic Energy Agency (IAEA) mengatakan bahwa air yang dilepaskan PLTN Fukushima mengandung sedikit tritium ke lingkungan, yang menurutnya masih berada dalam batas normal dan tidak berbahaya bagi manusia.
Pemerintah Jepang bersama dengan Tokyo Electric Power Co. (TEPCO), percaya bahwa kadar tritium dalam air akan berada di bawah batas yang dianggap aman untuk manusia dan lingkungan menurut standar WHO.
"Risikonya sangat rendah," tutup Jim Smith, profesor lingkungan di Universitas Portsmouth.