Hari Anti-Sunat Perempuan

Jejak Mutilasi Genital: Ketika Sunat Mengancam Kesehatan Perempuan

Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia diperingati setiap 6 Februari

Featured-Image
Ilustrasi SUnat Perempuan. Foto: Dok. DW.

bakabar.com, JAKARTA - Sudah sebelas tahun lamanya, Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia diperingati setiap 6 Februari. Peringatan yang dicetuskan pada 2012 ini bertujuan meningkatkan kesadaran akan bahaya mutilasi genital kaum hawa.

Anti-Female Genital Mutilation lahir dari keprihatinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas langgengnya praktik sunat perempuan di 17 negara. Mutilasi alat kelamin perempuan semakin banyak dilakukan pada usia muda sehingga mempersempit peluang intervensi.

Indonesia pun termasuk salah satu negara yang melanggengkan sunat perempuan. Mengutip data UNICEF 2016, negeri ini menduduki peringkat ketiga praktik khitan kaum hawa di dunia, setelah Mesir dan Etiopia.

Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta orang disunat. Adapun faktor yang membuat praktik sunat terus tumbuh subur di Indonesia ialah norma dan tradisi.

Hal itu sebagaimana disampaikan kajian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada pada 2017. Sebanyak 87,3 persen dari 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya.

Doktrin agama dan tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi.

Bahaya Sunat Perempuan

Larangan khitan bagi perempuan bukanlah tanpa alasan. Mereka berpotensi mengalami komplikasi jangka pendek, seperti nyeri parah, syok, perdarahan berlebihan, infeksi, dan kesulitan buang air kecil. 

Bahkan, perempuan yang disunat juga bisa menghadapi konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan seksual, reproduksi, serta kesehatan mental. Lantaran melukai fisik dan mental, WHO menilai tindakan sunat itu sebagai pelecehan berat terhadap hak asasi manusia.

Senada dengan pernyataan tersebut, Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, menilai sunat sebagai praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan, keamanan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari penyiksaan, dan perlakuan yang merendahkan.

Sunat perempuan, menurut WHO, memang dapat membuat wanita yang menjalaninya mengalami trauma psikis dan depresi. Jika berkelanjutan, gangguan mental ini bahkan bisa menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.

Selain itu, rusaknya jaringan kelamin yang sangat sensitif, terutama klitoris, akibat praktik sunat dapat menyebabkan penurunan hasrat seksual, nyeri saat berhubungan seks, kesulitan saat penetrasi penis, penurunan lubrikasi selama bersanggama, dan berkurangnya atau tidak adanya orgasme (anorgasmia).

Editor


Komentar
Banner
Banner