bakabar.com, BANJARMASIN – Beberapa waktu ini, dunia tengah gempar dengan wabah virus menular Covid-19 atau Virus Corona, hingga ke Indonesia.
Namun, masuknya pandemi virus mematikan sebenarnya bukan hal baru melanda. Kota Banjarmasin dan sekitarnya sudah pernah mengalaminya.
Tepat satu abad silam, tahun 1918-1919, flu Spanyol yang mengguncang dunia, juga melanda wilayah yang termasuk dalam Karesidenan Borneo bagian selatan dan timur.
“Flu yang oleh masyarakat Banjar dinamakan ‘Penjakit Aneh’, ‘Penjakit Rahasia’, dan ‘Pilek Spanje’ ini telah menjadi pandemi yang menjangkiti ribuan warga di Banjarmasin,” ungkap pengamat Sejarah Kalimantan Selatan, Mansyur kepada bakabar.com.
Sebagai perbandingan awal, data saat itu Flu Spanyol membunuh sekitar 2-20 persen penderita yang terinfeksi.
Melansir historia.com, persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita.
Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat, Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai “The Mother of All Pandemics.”
Dalam sumber lain, Historia juga melansir jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller).
“Kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun,” sebut Dosen Sejarah Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ini.
Dalam kurun waktu Maret 1918-September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang.
Tahun itu menjadi tahun genting dalam sejarah umat manusia.
“Pandemi ini terjadi secara global. Seiring dengan babak pamungkas dari Perang Dunia I. Pada tahun ini, umat sejagat pun diuji dengan merebaknya pandemi flu ganas, pandemi flu Spanyol,” bebernya.
Penyebaran Flu Spanyol di Hindia Belanda (Indonesia sekarang) terjadi dalam dua gelombang.
Pertama, Juli 1918-September 1918, sekalipun di beberapa tempat, seperti Pangkatan (Sumatera Utara), virus ini sudah menyebar pada Juni 1918.
“Diduga kuat penyakit itu ditularkan penumpang dari Singapura. Sementara, kawasan timur, seperti Borneo (Kalimantan), Sulawesi dan Maluku, masih terbebas dari Flu Spanyol selama gelombang pertama,” kata Mansyur.
Berbeda dengan gelombang kedua, Flu Spanyol terjadi pada Oktober-Desember 1918 meski di beberapa tempat, terutama di kawasan timur.
Hal itu berlangsung sampai akhir Januari 1919. Pada awal November 1918, Residen yang berkedudukan di Banjarmasin telah mengirimkan telegram darurat yang menyatakan bahwa daerahnya terserang wabah inï¬uenza.
“Pandemi flu spanyol diduga berasal dari Hongkong,” tuturnya.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan kepada kapal-kapal dari Hongkong yang merapat di pelabuhan wilayah Hindia Belanda, seperti Pelabuhan Banjarmasin untuk menurunkan penumpang.
Pengawasan difokuskan terhadap kapal-kapal yang datang dari Hongkong dan telah transit di Singapura menuju Banjarmasin.
Nofota Rusdiana Dewi (2013) menjelaskan bahwa keadaan di Banjarmasin sedang kacau kala itu.
Inspektur kesehatan melaporkan adanya peningkatan kematian yang tinggi.
Kematian tersebut pada umumnya disebabkan oleh penyakit Spanyol.
Penyakit Spanyol di sini dapat diartikan sebagai influenza/Spanis Griep atau flu Spanyol.
Dalam telegram tersebut, Residen Borneo Timur dan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin melaporkan sebanyak 1.424 orang di daerahnya telah tercatat menjadi korban penyakit inï¬uenza.
Pada 30 November 1918, Asisten Residen Buleleng melaporkan hal serupa kepada pemerintah di Batavia dengan mengatakan bahwa penyakit ini telah memakan banyak korban penduduknya.
Tiga hari kemudian, pada tanggal 2 Desember 1918, Asisten Residen Banyuwangi juga melaporkan hal serupa.
“Banjarmasin menjadi lokasi pertama di gelombang kedua tahun 1918, yang mengawali kasus kemunculan influenza (flu spanyol),” jelas Mansyur.
Kasus ini pertama kali dilaporkan terjadi di Pelabuhan Banjarmasin, Makassar, dan Buleleng di Pulau Bali.
Kasus flu spanyol diduga ditularkan penumpang kapal-kapal yang berlayar dan pulang ke Bandjakarta, Bawean, dan Batavia. Diantaranya para penumpang dari kapal S. S. Camphuys, S. S. Van Hoorn, S. S. Van Rees, dan S. S. Senang.
Priyanto Wibowo (2009) juga mengungkapkan dalam waktu singkat, yaitu sekitar satu minggu, penyakit ini mulai menyebar ke Jawa Timur.
Surabaya, sebagai kota pelabuhan utama, juga diserang wabah inï¬uenza dan menjadi pintu penyebaran masuk hingga ke daerah sekitarnya.
Pada akhir November 1918, Pemerintah Hindia Belanda telah menerima laporan bahwa penyakit itu telah melanda Jawa Tengah dan memasuki wilayah Jawa Barat.
Beberapa tempat menunjukkan adanya kenyataan bahwa inï¬uenza merupakan sebuah penyakit baru yang melanda daerah tersebut.
Sementara itu, lokasi lainnya menunjukkan bahwa penyakit ï¬u telah melanda daerah tersebut beberapa bulan sebelumnya.
“Para pejabat tersebut melaporkan kepada pemerintah di Batavia dengan menggunakan TZG atau Telegram van zeer geheim, yang biasanya digunakan oleh birokrasi Belanda untuk menunjukkan kondisi darurat dan mendesak,” pungkas Mansyur.
Reporter: Musnita Sari