bakabar.com, BANJARMASIN - Longsornya badan jalan Kilometer (Km) 171 Tanah Bumbu bak petaka bagi puluhan keluarga yang menggantungkan hidup dengan berjualan di Satui.
Demi keselamatan, kini mereka semua harus mengungsi akibat rumah mereka yang retak-retak bersamaan dengan longsornya badan jalan nasional tersebut.
"Mabes Polri mestinya juga merespons kasus longsornya jalan negara di Tanah Bumbu," ujar Berry Nahdian Furqon mantan Direktur Walhi Nasional kepada bakabar.com, Sabtu malam (1/10).
Sebelumnya Mabes Polri telah buka suara. Namun bukan atas peristiwa Satui, melainkan insiden di Desa Buluh Kotabaru.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit meminta agar tragedi yang menewaskan sembilan jiwa di Kotabaru diusut tuntas, sekalipun ada aparat yang terlibat.
Namun bagi Berry, kasus longsor di Satui Tanah Bumbu tak kalah pentingnya mendapat perhatian Kapolri sama halnya dengan tragedi Desa Buluh.
"Sebab pelanggarannya ada di depan mata, bagaimana bisa penambang sampai menambang di pinggir jalan negara," ujar inisiator Jaringan Advokasi Tambang Kalsel ini.
Bukan hanya peristiwa pidana yang di depan mata, longsornya jalan nasional Km 171 Satui juga berimbas pada mata pencaharian dan keselamatan jiwa warga setempat.
"Longsor di objek vital nasional ini harus diusut oleh Mabes Polri," jelasnya.
Sejauh mana indikasi peristiwa pidana dalam peristiwa longsornya jalan nasional Km 171 Satui? Jelas ada. Berkaca aturan, jarak minimal antara tambang dengan badan jalan tak lebih dari 500 meter.
Nyatanya di Km 171 Satui kurang dari itu. Selemparan batu, atau hanya berjarak sekira 5 meter dari bekas galian tambang yang sudah tidak lagi aktif beroperasi.
Sementara dengan lokasi tambang yang masih aktif beroperasi, jaraknya berkisar 150 meter. Kini kedua lubang bekas galian tambang tersebut sudah menyatu. Sulit membedakan mana yang masih aktif dan mana yang tidak. Yang pasti, total luasnya kedua areal tambang itu mencapai tak kurang dari 10 hektare.
Lantaran aktivitas tambang semakin hari kian mendekati badan jalan, pada Rabu (28/9) dini hari, longsor terjadi di Km 171 yang berstatus jalan nasional. Sebuah rumah tak berpenghuni ikut ambruk. Tidak ada korban jiwa. Namun panjang ruas jalan yang ambruk berkisar 10 meter dengan lebar 3 meter, masih berpotensi melebar.
"Atas aktivitas tambang terindikasi ilegal ini, Pemda dan Pemrov serta aparat penegak hukum telah melakukan pembiaran," sambung Berry, mantan Wakil Bupati HST ini.
View this post on Instagram
Penelusuran media ini, tambang tersebut terindikasi jadi lahan basah penambang liar, meski disebut-sebut sebagai lokasi tambang milik salah satu perusahaan berizin.
"Maka Pemkab atau Pemprov dan aparat penegak hukum bisa dianggap kongkalikong dengan penambang karena telah melakukan pembiaran," ujarnya.
Lalu, siapa yang paling bertanggung untuk memulihkan dampak dari kerusakan tersebut? Sesuai kewenangan, kata Berry, jelas Balai Jalan yang paling bertanggung jawab.
"Pemkab Tanah Bumbu, dan Pemprov Kalsel juga harus bertanggung jawab," ujarnya.
Namun Berry juga sepakat jika pembangunan ulang jalan longsor itu jangan sepenuhnya menggunakan uang negara. Perusahaan pemegang izin harus ikut bertanggung jawab.
Di sisi lain, upaya pemulihan dampak akibat longsor mulai dilakukan Pemkab Tanah Bumbu setelah rapat dengar pendapat di DPRD setempat, 6 September kemarin.
Mereka turun ke lokasi meninjau kondisi lapangan dan membentuk tim independen untuk menghitung angka ganti rugi sebanyak 23 warga terdampak.
"Sampai saat ini belum terlihat hasilnya," ujar kuasa hukum 23 warga terdampak, Agus Rismaliannor dihubungi terpisah.
Hasil rapat juga menyebut PT MJAB harus bertanggung jawab atas dampak lingkungan, mengganti rugi 23 rumah warga terdampak tambang, menyetop kegiatan penambangan sebelum ada kajian teknis dampak lingkungan, dan membuat jalan alternatif dan memperbaiki jalan yang rusak.
Hingga jalan nasional itu longsor, kini sudah ada beberapa kepala keluarga yang berpindah kediaman mengingat rumahnya sudah rusak dan tidak bisa ditempati lagi.
Kondisi rumah mereka sudah mengancam keselamatan jiwa. Sementara waktu mereka harus pindah, dengan difasilitasi rumah sewaan oleh Pemkab Tanah Bumbu melalui tim independen yang dibentuk dan diketuai camat Satui.
"Nasib warga yang terdampak hingga saat ini masih bergantung dari pemerintah," pungkas Agus.