bakabar.com, JAKARTA – Desa Keramat, demikian wilayah itu dikenal. Kendati dalam ingatan historikal, wilayah ini telah merekam gerak para penyadap karet yang memikul hasil torehannya ke perahu kecil yang tertambat di tepian. Di sanalah sejatinya istilah ‘Tungkaran’ bermula.
Waktu berjalan, desa yang terletak di Kabupaten Banjar ini pun menjelma desas-desus yang lekat dalam tradisi tutur.
Bahkan, wilayah yang berbatasan langsung dengan Desa Cindai Alus ini kemudian mendapat julukan baru sebagai ‘Tungkaran Mayat’.
Dari Keranda ke Dermaga
Lebih jauh, nama Tungkaran bahkan diidentikkan dengan ‘keranda’ lantaran cerita yang beredar mengenai keberadaan makam-makam tak bernama hingga jejeran pusara milik para ulama.
Namun hal itu diluruskan oleh tokoh masyarakat setempat, Muhammad Salmani, yang menafsir ulang silsilah Tungkaran. Ia menjelaskan bila kampungnya itu berakar dari kisah panjang mengenai perahu para penyadap karet yang singgah di dermaga, untuk mengangkut hasil panen di masa lampau.
Salmani mengungkapkan pula bahwa Tungkaran bukan berarti keranda, melainkan pangkalan bagi perahu-perahu bercadik asal Karang Tengah yang datang memuat karet, hasil torehan petani.
Kala itu, mereka menambatkan perahu-perahu jukung yang memenuhi tepian sungai. Kebiasaan tersebut kemudian melatari penamaan Tungkaran, yang dalam Bahasa Banjar, dianggap sesuai untuk menggambarkan situasi.
Kini, dengan luas sekitar 750 hektar dan jumlah penduduk berkisar 2000-an, Desa Tungkaran senantiasa bergeliat dan terus berkembang dengan potensi yang dimiliki. Salah satunya melalui sektor perkebunan yang menghasilkan sayuran dan palawija.
Lokasi Ziarah Abah Guru Sekumpul
Berbagai makam disinyalir berada di Desa Tungkaran. Bahkan terkait hal ini, Pemkab Banjar tengah melakukan upaya toponimi guna memverifikasi berbagai data.
Senada dengan itu, dalam keterangannya, Salmani menambahkan bila desanya memang marak diziarahi.
Tak ayal, tradisi itu bermuasal dari keberadaan sejumlah makam yang dikultuskan. Di antaranya, makam Datu Bagul, Datu Umar, Datu Janggut, Datu Kelangkala, dan Guru Hundari.
Bahkan di lokasi ini juga terdapat makam Datu Kalampayan beserta keluarganya. Hingga tak mengherankan jika Abah Guru Sekumpul, semasa hidupnya, kerap berkunjung untuk berziarah.