Hot Borneo

Harjad Banjarmasin 496, Momentum Tahun Terakhir Ibu Kota Kalsel?

apahabar.com, BANJARMASIN – Tahun 2022 bakal menjadi momentum terakhir Kota Banjarmasin menyandang status ibu kota Provinsi…

Featured-Image
Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina dan Wali Kota Banjarmasin Ariffin Noor memperjuangkan Banjarmasin tetap ibu kota Kalsel. Foto-Humas Pemkot Banjarmasin

bakabar.com, BANJARMASIN – Tahun 2022 bakal menjadi momentum terakhir Kota Banjarmasin menyandang status ibu kota Provinsi Kalimantan (Kalsel).

Artinya, Hari Jadi (Harjad) ke 496 tahun ini merupakan kado terpahit bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya.

Namun situasinya bisa saja memihak Banjarmasin.

Mahkamah Konstitusi (MK) cuma memutuskan kepastian ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada Kamis besok (29/9/2022).

Keputusan dibacakan saat Sidang Pleno Pengucapan Putusan Perkara Nomor 58/PUU-XX/2022 perihal Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Sidang diselenggarakan secara daring (online) dan diikuti permohon Pemkot Banjarmasin.

Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina menekankan bahwa perjuangan dalam menjadikan ibu kota Kalsel tetap di Banjarmasin berbuah hasil yang maksimal.

"Mudah-mudahan Banjarmasin tetap ibu kota Kalsel," tegasnya.

Staf Ahli Hukum Wali Kota Banjarmasin, Lukman Fadlun juga menyampaikan, permohonan judical review itu memang beralasan.

Hal ini mengingat produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalsel itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan pembentukannya juga bertentangan dengan UUD karena dari tahap perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan, dan Pengundangan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahannya.

Oleh sebab itu, pihaknya mengajukan uji formil produk UU Provinsi itu karena dianggap tidak ada melakukan pengkajian dan menelaah perpindahan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.

“Kami menganggap Undang-undang tersebut cacat formil dan prosedur. Kami tidak dilibatkan partisipasi publik apakah loka karya, dengar pendapat, sosialisasi dan sebagainya. Nah itu uji formilnya karena tidak ada keterlibatan dan bahkan dewan kelurahan di Banjarmasin tidak mengetahuinya,” katanya.

Kemudian, alasan lainnya akademis Rancangan Undang-Undang Provinsi Kalimantan Selatan tidak memuat kajian terhadap persyaratan pemindahan ibu kota sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota. Bahwa Naskah akademis pemindahan ibukota seharusnya disusun oleh Gubernur atau Bupati/Wali Kota.

“Disana juga tidak ada kejelasan tujuan, ini tidak jelas apakah merubah UU sebelumnya, atau merubah ibu kota provinsi. Kalau merubah ibukota Provinsi itu produknya masuk pada rezim pemerintahan daerah, bukan produk undang-undang,” tegasnya.

Lukman juga membeberkan contoh, Pemindahan ibu kota harus diatur dengan penetapan berupa Peraturan Pemerintah.

Sebagai contoh pembanding tentang pemindahan ibukota provinsi terjadi di Sumatra Barat dari Bukit Tinggi ke kota Padang yang menggunakan dasar peraturan pemerintah PP RI Nomer 29 Tahun 1979.



Komentar
Banner
Banner