Hari Membaca Nyaring

Hari Membaca Nyaring Sedunia dan Pembredelan Buku di Masa Lampau

Meski menyimpan segudang manfaat, siapa sangka, rupanya ada sederet negara yang pernah memberlakukan larangan membaca buku

Featured-Image
Ilustrasi membaca nyaring. Foto: Net.

bakabar.com, JAKARTA - Tanggal 3 Februari diperingati sebagai Hari Membaca Nyaring Sedunia. Peringatan ini bertujuan meningkatkan seni dan praktik membaca dengan suara keras, sekaligus mengembalikan tradisi membaca dan mempromosikan gerakan literasi.

World Read Aloud Day, begitu namanya lainnya, pertama kali dicetuskan organisasi nonprofit bernama LitWorld. Gagasan itu perdana direalisasikan pada 2010.

Kini, setidaknya ada lebih dari 170 negara yang berpartisipasi merayakan Hari Membaca Nyaring Sedunia.

Membaca dengan suara lantang sendiri, sejatinya, memiliki segudang manfaat. Salah satunya, dapat memperluas kosa kata mengingat setiap kata dibaca secara perlahan dan cermat. Selain itu, juga bisa meningkatkan konsentrasi.

Hal tersebut dikarenakan ketika sedang membaca dengan suara keras, perhatian tidak mudah teralihkan. Sebab manakala perhatian teralihkan, maka pembaca akan kesulitan melanjutkan cerita lantaran bingung mencari akhir kalimat. 

Meski menyimpan segudang manfaat, siapa sangka, rupanya ada sederet negara yang pernah memberlakukan larangan membaca buku.

Namun, bukan berarti semua buku dilarang, hanya karya-karya tertentu saja yang dianggap kurang baik.

Pembredelan Buku di Masa Lampau

Cina, misalnya, sempat melarang peredaran Alice in Wonderland pada 1931. Sebab, buku itu dianggap menyetarakan kedudukan manusia dengan hewan.

Sementara, Negeri Tirai Bambu menilai hewan tidak boleh menggunakan bahasa yang sama layaknya manusia.

Dua tahun berikutnya, atau pada 1933, pembredelan buku juga terjadi di Nazi, Jerman. Karya orang Yahudi, komunis, dan sebagainya dibakar massal.

Adapun beberapa buku yang dibakar itu merupakan karya penulis seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, Ernest Hemingway, Helen Keller, Thomas Mann, Karl Marx, dan Leon Trotsky.

Selama perang Bosnia terjadinya, lebih tepatnya pada 1922, pasukan Serbia juga menembaki Perpustakaan Nasional di Sarajevo. Tak cuma buku, siapa pun yang berusaha menyelamatkan barang tersebut pun ditembaki.

Pemberangusan buku juga pernah dilakukan Pakistan pada 2013. Negara tersebut melarang buku I Am Malala: The Girl Who Stood Up for Education and Was Shot by the Taliban karya Malala Yousafzai dan Christina Lamb. Larangan ini diberlakukan di 40.000 perpustakaan lantaran dianggap tidak menunjukkan rasa hormat yang cukup terhadap Islam.

Buku kenamaan asal Inggris, Harry Potter, pun pernah diminta dihilangkan dari perpustakaan umum Amerika Serikat pada 2019. Para penentang buku ini merasa keberatan dengan penggambaran ilmu sihir, mantra, dan kutukan yang ada di dalamnya.

Bukan cuma di luar negeri, pemberangusan buku juga pernah terjadi di Indonesia berulang kali. Pada masa penjajahan, Pemerintah Belanda menghambat peredaran buku-buku yang terkesan berbau pemberontakan, melawan pemerintah, dan mempropagandakan kemerdekaan negeri ini kala itu.

Larangan membaca buku pun berlanjut di era Presiden Soekarno. Ini bahkan sampai disahkan melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963.

Akibatnya, pemerintah melakukan pengamanan terhadap barang cetakan, baik buku ataupun surat kabar berisi informasi yang berpotensi mengganggu ketertiban umum.

Larangan buku kian menjadi-jadi saat Indonesia memasuki Orde Baru, terutama setelah peristiwa 30 September 1965 yang membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya ditangkap. Kala itu, terjadi pembakaran buku, di mana militer melakukan pemberangusan di kantor PKI dan Universitas Res Publica.

Editor


Komentar
Banner
Banner