bakabar.com, BANJARMASIN – Diperingati setiap 23 Juli, Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini masih meninggalkan sederet catatan. Tindak kekerasan fisik hingga seksual terus menghantui anak-anak di Banjarmasin.
Catatan buram tersebut diperparah dengan pembatasan aktivitas yang dilakukan pemerintah yang kerap bergonta-ganti istilah. Menginjak tahun kedua pandemi, angka kasus kekerasan anak di Banjarmasin tumbuh subur. Angkanya bahkan mencapai ratusan kasus.
Bicara jumlah, tahun ini bisa saja kasusnya meningkat dibanding sebelumnya. Sepanjang 2020 lalu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banjarmasin mencatat sebanyak 77 anak dan perempuan korban kekerasan.
Namun jumlah itu bisa saja meningkat mengingat sampai Juni ini P2TP2A sudah mencatat 55 anak-perempuan menjadi korban represi di Banjarmasin.
Kepala P2TP2A Banjarmasin Iwan Fitriadi menyebut kondisi tersebut lumrah terjadi di daerah lain. "Di seluruh Indonesia juga sama. Ada peningkatan terus di masa pandemi atau sebelum pandemi," ujar Kepala P2TP2A Banjarmasin Iwan Fitriadi kepada bakabar.com.
Alasan klasik menjadi faktor seseorang melakukan kekerasaan terhadap anak. Sebagian besar penyebabnya faktor ekonomi.
“Apalagi pandemi orang tuanya kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya," ucapnya.
Kasus kekerasaan anak dan perempuan seperti dua sisi koin. Sisi negatifnya, P2TP2A terus menerima penambahan kasus kekerasaan anak. Sisi positifnya, masyarakat makin percaya dan peduli dengan kesehatan anak saat laporan semakin bertambah banyak.
"Karena kekerasaan terhadap anak dan perempuan lebih dikenal dengan fenomena gunung es. Yang dilaporkan sekitar 10, yang terjadi di masyarakat lebih dari itu, tetapi tidak dilaporkan," ucapnya.
Di P2TP2A, umumnya kasus kekerasaan anak diselesaikan secara kekeluargaan, dan juga hukum pidana.
“Jika tak bisa dimediasi, otomatis kasusnya diambil alih penegak hukum,” ujarnya.
Menghapus budaya enggan melapor jadi fokus P2TP2A saat ini. Masih banyak pihak menganggap kasus kekerasan tak ubahnya aib keluarga.
"Kita ini tetangga, tapi anak samping rumah rancak [sering] dipukuli tapi kita tidak peduli karena dipandang sebagai aib keluarga. Itu anggapan yang ingin kita hapus," tegasnya.
Iwan berharap pandemi kali ini membuat perayaan Hari Anak Nasional lebih bermakna.
“Semakin sering berkumpul di rumah karena ada pembatasan kegiatan semoga semakin mengerti kebutuhan anak,” ujarnya.
“Anak-anak jangan lemah, harus tetap bergembira meski belajar di rumah,” sambungnya.
Kejahatan Anak
Ketika Kegiatan Dibatasi, Kejahatan Anak di Banjarmasin Justru Meningkat!
Kasus kejahatan anak tumbuh subur selama pandemi Covid-19. Yang paling menyita perhatian tentu saja kasus pencabulan dua anak oleh ayah kandungnya sendiri di Banjarmasin Utara, Februari 2021 silam. Tak hanya itu, awal Juni tadi seorang balita meregang nyawa di tangan ibu tirinya sendiri. Kedua kasus itu kini masuk ke tahap penuntutan.
Meminjam catatan kepolisian, sampai awal Juni kemarin sudah tercatat 40 kasus kejahatan melibatkan anak di Banjarmasin. Baik anak sebagai korban maupun pelaku.
Tren kasus kekerasan anak tahun ini kemungkinan besar meningkat. Mengingat sepanjang tahun lalu ‘hanya’ 50 kasus kekerasan anak terjadi.
Faktor Pemicu Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
"Adanya pandemi ini malah banyak kegiatan anak itu yang tidak terpantau oleh orang tua mereka, lantaran si orang tua harus bekerja," kata Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin Kompol Alfian Tri Permadi kepada bakabar.com, baru tadi.
Kasus Kematian Balita di Banjarmasin, Ibu Tiri Resmi Tersangka!
Kejahatan anak yang mendominasi pada tahun ini umumnya penganiayaan, pencabulan hingga persetubuhan.
"Didominasi anak yang menjadi korban," ujar Mesya.
Untuk menekan angka kasus kejahatan yang melibatkan anak, Unit PPA Satreskrim Polresta Banjarmasin bukannya diam saja. Pelbagai upaya dilakukan. Salah satunya memberikan sosialisasi atau penyuluhan ke sekolah-sekolah.
Namun saat ini upaya itu harus berhenti mengingat pembelajaran tatap muka disetop.
"Karena Covid kita harus membatasi kegiatan. Namun tetap kita siasati dengan bekerjasama dengan beberapa media, seperti radio untuk menggelar talkshow dan imbauan," katanya.
Lebih jauh, untuk mengatasi trauma berkepanjangan terhadap para korban, pihaknya turut menggandeng psikolog.
"Memberikan trauma healing. Sehingga korban tidak mengalami trauma berkepanjangan dan siap kembali ke tengah masyarakat," katanya.
Terakhir, tak lupa Mesya menghimbau kepada orang tua agar terus memperhatikan detail lingkungan tempat anak bergaul.
Menurutnya, mimpi besar untuk memutus rantai kejahatan anak tak mungkin hanya dilakukan polisi saja. Perlu dukungan pemerintah, dan masyarakat. Apalagi orang tua anak itu sendiri.
"Orang tua agar terus memperhatikan lingkungan tempat anaknya bergaul. Sebab, pergaulan lah yang membentuk kepribadian anak," ujarnya.
Mesya hakulyakin pengawasan yang aktif dari orang tua akan mampu meminimalkan ruang kekerasan terhadap kejahatan anak.
"Kemungkinan anak menjadi korban atau bahkan pelaku kejahatan akan terminimalisir," ujarnya.
Motif Pemerkosaan Sedarah di Banjarmasin Utara, Pelaku Kecanduan ‘Film Biru’