bakabar.com, BANJARMASIN – Kuasa hukum PT AGM, Harry Ponto, mengungkapkan penyebab konflik jalur logistik batu bara di Tapin, Kalimantan Selatan.
Adanya laporan pidana di jalur logistik KM 101 Tapin, kata Harry, diduga menjadi salah satu cara PT TCT untuk menyelamatkan bisnis.
Akan tetapi, dampak pelaporan itu membuat jalur logistik di police line Polda Kalsel.
Akibat kondisi tersebut ribuan sopir hauling dan pekerja tongkang kehilangan pekerjaan.
Kementerian ESDM menghitung potensi penerimaan negara akibat penutupan jalur logistik batu bara di Tapin mencapai Rp 249 miliar.
Harry Ponto menyayangkan masyarakat menjadi korban.
Terlebih risiko terbesar dari penutupan adalah tersendatnya pasokan batu bara ke PLN dan pabrik semen.
“Dari pernyataan pihak TCT, apa yang terjadi hari ini karena bisnis mereka sedang sulit. Sayangnya, ribuan orang dan banyak keluarga yang menjadi korban,” ucap Harry dalam siaran pers yang diterima bakabar.com, Jumat (14/1) malam.
Lebih lanjut, Harry meminta para pihak segera menjalankan perintah dari Kementerian ESDM dengan membuka police line dan blokade di jalur logistik KM 101 Tapin.
Menurutnya, PT TCT dan PT AGM masih terikat perjanjian 2010 yang hingga kini masih berlaku.
Perjanjian itu juga menjadi dasar kedua perusahaan menjalankan bisnis secara bersama sejak tahun 2011 hingga 28 november 2021.
“Sebagai perusahaan yang baik, warga negara yang baik, kami akan menjalankan perintah Kementerian ESDM untuk mengirimkan batu bara ke PLN melalui jalur logistik PT AGM.”
“Situasi sulit masyarakat Tapin saat ini menjadi perhatian perusahaan agar masalah ini segera selesai sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegas Harry.
Sebelumnya, kuasa hukum PT TCT, Tri Hartanto, dalam dalam RDP bersama DPRD Kalsel mengatakan pihaknya memiliki kewajiban dari investasi yang telah dilakukan.
Mereka mengaku ketika mengambil alih aset (Anugrah Tapin Persada/ATP) kondisinya pailit.
Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengalihan saham.
"Kami juga punya karyawan yang saat ini tidak bekerja. Kami punya investasi, kami punya kewajiban, kalau soal menderita kami juga jauh menderita,” katanya.
Tri Hartanto menganggap perjanjian itu dibuat di masa lampau. PT TCT merasa tidak punya kaitan dengan perjanjian tersebut.
Juga tidak menundukkan perjanjian itu, apalagi harus tunduk untuk jangka waktu yang tidak tahu sampai kapan.
“Untuk itu kami ajukan proses hukum, karena tidak fair. Kenapa kami harus tunduk pada perjanjian yang tidak tahu kapan akan berakhirnya. Kita ingin bersama-sama oke selesaikan secara bisnis to bisnis.”
“Terkait laporan polisi atau perdata yang sedang berjalan, kami berharap, sengketa AGM dengan kami bisa ada solusi terbaik," tutupnya.