bakabar.com, BANJARMASIN – Tak hanya di kejaksaan, tindakan intimidatif diduga juga diterima VDPS sejak di kepolisian. Seorang anggota polisi mempersoalkan ketidaktahuan VDPS mengenai Bripka Bayu yang sudah memiliki istri.
Seorang polisi di Polresta Banjarmasin lainnya menyindir VDPS yang tak menggunakan jilbab.
Pazri kuasa hukum VDPS menilai apa yang dilakukan para oknum itu bertentangan dengan kode etik kepolisian. “Ini tidak dibenarkan,” ujarnya, Selasa (1/2).
Terkait dugaan diskriminatif terhadap VDPS, Pazri telah bersurat secara resmi ke Komnas HAM, pada 29 Januari kemarin.
“Pasal 22 UU HAM, setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing. Negara harus menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing,” ujar Pazri.
Sampai berita ini diturunkan, upaya konfirmasi ke Polda Kalsel terkait tindak diskriminatif kepada VDPS masih berlangsung.
Diwartakan sebelumnya, VDPS yang merupakan mahasiswi Fakultas Hukum (FH) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) adalah korban pemerkosaan.
Pelakunya bernama Bayu Tamtomo, bekas anggota Satresnarkoba Polresta Banjarmasin.
Insiden tak senonoh tersebut sejatinya terjadi pada 18 Agustus 2021. VDPS sempat dicekoki Bayu dengan dua botol kratingdaeng yang tutupnya sudah terbuka.
Namun, pada 11 Januari 2022 publik dibuat heboh lantaran VDPS berani buka suara. Di media sosial pribadinya, VDPS menilai hukuman terhadap Bayu terlalu ringan.
Ya, Majelis Hakim memvonis Bayu 2,5 tahun penjara. Lebih rendah dari tuntutan JPU dengan Pasal 286 KUHP.
Dakwaan tersebut juga dinilai kontroversi lantaran hukuman bisa dirasa lebih berat.
Tim Advokasi Keadilan bentukan FH ULM berpendapat JPU mestinya menjerat Bayu dengan Pasal 285 KUHP. Isinya tentang pemerkosaan dengan kekerasan.
Sebab, selain dipaksa meminum kratingdaeng yang diduga dioplos, pada sekujur tubuh VDPS juga ditemukan banyak memar.
Kondisi VDPS
Skandal Pemerkosaan Mahasiswi ULM, Jaksa: Lapor Kampus Tak Perlu
VDPS, kata Pazri, masih traumatis. Keluarganya tak henti-henti kuatir.
"Kemarin sore dia tidur. Tiba-tiba menangis histeris. Kami bingung, kami bangunkan tapi tidak bangun. Jadi kita awasi terus sampai berhenti menangis, kami juga kaget melihat statusnya terakhir [VDPS berniat mengakhiri hidup]," ujar Pazri mengutip laporan terakhir advokat Borneo Law Firm lain yang kerap mendampingi VDPS.
Setelah pemerkosaan itu, VDPS trauma. Dokter psikolog mengharuskannya meminum obat dari hasil pengobatan yang hanya tiga kali ditanggung pemerintah.
Apabila tidak meminum obat tersebut sebelum tidur, VDPS sering mengigau. Dia kerap berteriak-teriak sambil menangis terisak. Hingga saat ini VDPS masih dalam pengobatan rawat jalan pihak RS Anshari Saleh, Banjarmasin.
Pazri berharap Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, maupun Kompolnas segera turun tangan mengusut tuntas semua dugaan penyimpangan selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus VDPS.
"Pengusutan sebagai ungkapan keprihatinan kepada korban. Lihat saja jejak digital kasusnya. Ini bukan hanya soal hukum tapi juga soal moral, kredibilitas dan integritas. Kejahatan yang dilakukan terdakwa telah menimbulkan trauma seumur hidup kepada korban," pungkas Pazri.