bakabar.com, BARABAI – Meski diprotes para sopir truk, Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Pemkab HST) tetap mempertahankan Perda Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan atau jenis galian C.
Pemkab HST bukan tanpa alasan tetap menerapkan perda maupun besaran pajak yang kembali diberlakukan itu.
“Hal itu sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tentang Bumi dan Air Serta Kekayaan Alam Dikuasai Oleh Negara,” kata Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) HST, H Fahmi, Kamis (3/2).
Arti undang-undang itu dijelaskan Fahmi lebih dalam. Negara berhak mengelola, mengatur dan mengawasi sumber daya alam di Republik Indonesia, khususnya di HST.
Atas dasar itu, kata Fahmi Pemkab HST diamanatkan memungut pajak mineral bukan logam atau galian C.
Sejak akhir 2021 pos pungut pajak galian diaktifkan pada 3 titik. Dua di Kecamatan Batang Alai Selatan (BAS) dan 1 di Kecamatan Batu Benawa.
Hasil pajak yang terkumpul dari ketiga pos itu, kata Fahmi akan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah.
Lantas, pendapatan itu dikumpulkan jadi pendapatan daerah dan akan dikeluarkan untuk pembangunan.
"Seperti perbaikan jalan, jembatan dan pembangunan lainnya. Di 2021 kita telah melakukan perbaikan ruas jalan di Desa Wawai dan Batu Tangga Rp3,9 miliar," terang Fahmi.
Selain itu, pemerintah juga merencanakan pemeliharaan jalan berkala di ruas jalan Birayang-Wawai. Besarnya menyentuh Rp945 juta.
Jika dilihat besarnya biaya itu, kata Fahmi tidak sebanding dengan pendapatan pajak galian C.
Ya, seperti kata Pj Sekda HST, M Yani pendapatan perhari dari pos pungutan pajak di 3 titik itu berkisar antara Rp7-10 juta. Hal itu berdasarkan perhitungannya beberapa hari terkahir sejak para sopir menolak membayar pajak seperti tertera pada Perda Nomor 9 Tahun 2011 tadi.
“Kami berharap bantuan pihak terkait dalam rangka pemungutan pajak itu. Khususnya para sopir, kami minta untuk memungutkan. Kami tidak memungut pajak galian c kepada sopir, tapi sopir hanya untuk memungutkan kepada penambang maupun pembeli,” tutup Fahmi.
Tarif Masih Rendah
Soal aspirasi para sopir truk yang turun kejalan belum lama tadi, Camat Batang Alai Selatan (BAS), Kartadipura menyebut pemungutan pajak itu masih rendah. Hal itu diterangkannya berdasarkan harga pasaran galian C yang berlaku saat ini.
“Perda yang dibuat pada 2009 dan baru diberlakukan 2011 itu, besaran pajaknya tergantung harga (material galian C-red) yang berlaku saat itu. Apabila dibandingkan dengan yang baru diberlakukan saat ini, pajak tersebut masih rendah,” terang Kartadipura.
Pemkab HST, kata Kartadipura hanya menjalankan lagi Perda tersebut. Pajak yang dipungut itu merupakan pajak penggunaan jalan daerah HST dan kompensasi lokasi bahan galian.
Artinya bukan dari sisi izin pertambangannya. Sebab pertambangan galian C ini izinnya ada di Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kartadipura bilang, sebenaranya kebijakan yang diambil Pemkab HST itu berpihak kepada masyarakat. Pasalnya, selama ini masyarakatlah yang menerima dampak dari pengangkutan galian C, misalnya debu dan kerusakan jalan.
“Kita akui ada beberapa penambang yang mmberikan kompensasi kepada desa. Tetapi kerusakan yang ditimbulkan pengangkut galian itu lebih besar biayanya dari pajak yang diterima dan bahkan tidak ada beberapa tahun ini (sejak 2011 sampai diaktifkan lagi akir 2021 tadi-red),” kata Kartadipura.
Camat Kartadipura mendukung Perda itu agar kembali diterapkan. Namun dia menilai harus ada dukungan dari seluruh elemen masyatakat dan instansi yang menangani pajak itu.
“Hasil pajak itu nantinya juga akan dikembalikan untuk maayarakat. Seperti pembangunan infrasturktur,” terang Kartadipura.
Kartadipura meminta agar ada tambahan portal di wilayah perbatasan kecamatan yang dipimpinnya dengan kecamatan Limpasu. Pasalnya banyak pengangkut material galian C yang lolos dari pemungutan pajak.
“Seperti di antara Limpasu dan Desa Anduhum. Operasionalnya juga bisa ditambah sampai malam hari dijaga,” tutup Kartadipura.
Mengenai perizinan angkutan material galian C, Kepala Dinas PTSP HST, HA Syahrani Effendi angkat bicara.
“Tidak ada perusahaan bidang angkutan yang terdaftar di PTSP HST. Termasuk di Dinas Lingkungan Hidup dan Perhubungan (DLHP) dan Samsat,” kata Syahrani.
Protes Sopir
Perlu diketahui, sebelumnya para sopir truk melakukan protes terhadap besaran pajak yang dibayar sesuai Perda Nomor 9 Tahun 2011 itu. Mereka menilai nominal yang tercantum dalam Perda HST itu terlalu tinggi.
Mereka menuntut Pemkab HST untuk menurunkan trif pajak.
“Kami mendukung saja dengan pajak ini. Tapi biayanya jangan beda-beda dan sosialisasinya juga harus berjenjang. Sedangkan ini baru tanggal 24 Desember 2021 lalu sosialisasinya, singkat sekali," kata perwakilan Sopir Truk yang turun ke jalan menyampaikan aspirasi, Senin (31/1) lalu.
Terhitung sudah dua hari para sopir menolak dipungut pajak. Aksi ini akan terus berlanjut sampai tuntutan mereka disetujui.
"Tetap ingin biaya pajak sama rata Rp 10 ribu per rit. Apapun bahan materialnya. Ketimbang kami tidak mau bayar dan pemerintah tidak dapat pendapatan sama sekali," tutup Anhar.
Perlu diketahui, pada Perda Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan tertera jenis galian dan besaran pajak yang dibayar oleh para supir truk. Kebijakan pos pajak galian itu diberlakukan kembali pada minggu ke IV Desember 2021 lalu.
Untuk jenis galian tanah urug besaran pajak senilai Rp5.000/rit, tanah merah Rp10.000, batu gunung Rp40.000, pasir Rp50.000, sirtu Rp40.000 dan krikil Rp80.000.
Sopir Truk Tolak Bayar Pajak Galian C, Pemkab HST Upayakan Solusi