bakabar.com, JAKARTA - Ketua Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers, Totok Suryanto mengungkapkan kerja sama antara institusi pemerintahan dengan pers dalam hal pemberitaan selama ini sering salah kaprah.
Itu ia ungkapkan saat menerima rombongan Sekretariat DPRD Kalsel beserta awak media yang tergabung dalam press room, bertandang ke Kantor Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Kecamatan Gambir, Jakarta, Senin (20/11).
Sebelumnya, Totok lebih dulu ditanya Sekretaris DPRD Kalsel, Muhammad Jaini, mengenai banyaknya media online baru muncul, menawarkan kerja sama pemberitaan.
Namun di satu sisi, Sekretariat DPRD Kalsel kewalahan karena alokasi anggaran terbatas, sehingga tidak memungkinkan kontrak baru selain dengan media yang sudah terjalin harmonis selama ini.
Totok pun lantas mengungkapkan, persoalan tersebut tidak hanya dialami Sekretariat DPRD Kalsel saja, melainkan juga dari Jawa Barat yang sebelumnya pernah mengeluhkan ke Dewan Pers.
Mereka kala itu, kata Totok, meminta Dewan Pers untuk mengeluarkan fatwa agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
"Kami bilang kalau minta fatwa sama MUI," seloroh Totok diiringi gelak tawa peserta pertemuan tersebut.
Totok bercerita, menurut keterangan mereka, jika semula di sana hanya 15 awak media ngeposkan wartawannya, namun setahun kemudian naik menjadi 87 dan semua menawarkan kerja sama.
"Saya (balik) tanya, apa semua dikasih, iya dikasih. Itu salah. Sekarang jangan minta fatwa ke saya. Silakan batasi sendiri," ungkap salah satu yang membidani munculnya Liputan6 SCTV dan TV One ini.
Fenomena seperti itu, diakui Totok sering dikeluhkan institusi pemerintahaan kabupaten/kota dan provinsi ke Dewan Pers. Terutama berkaitan soal alokasi anggaran.
"Memang ada kesalahkaprahan kerja sama antara sebuah institusi dengan pers," kata Totok.
"Kenapa saya sampaikan salah kaprah, karena salah kaprahnya (kerja sama) itu seperti gaji," kata Totok.
Keberadaan pers menurutnya bukan lah beban. "Pers ini menjadi kebutuhan bagi masyarakat maupun institusi. (Lantas) caranya bagaimana, caranya pers kita dorong profesional, bagaimana dapat bermafaat bukan jadi beban," papar dia.
Caranya urai Totok, dengan melakukan penambahan kemampuan wartawan. "Memperkuat posisi mereka untuk lebih kreatif, dengan begitu maka cara bekerja sama dengan mereka gampang. Kalau mereka persnya bagus, kan pasti yang nonton banyak untuk tv, yang dengar banyak kalau radio, yang baca banyak kalau itu online atau koran," jelas Totok.
Tapi kalau semua media dianggap sama, tekan Totok, ujungnya pers jadi tidak baik. "Karena berpikir, yang penting saya sama-sama ngepos, berita yang penting tayang, gak peduli kualitasnya, nah ini lama kelamaan nanti harapan positif yang kita ingini itu malah jadi negatif, karena publik tak mau membaca," sesal Totok.
Terlebih kalau semua wartawan beritanya sama, nanti malah dituding itu jadi corong saja. "Makanya kalau ditanya, pahitnya ini adalah, teman-teman (wartawan) harus profesional. Mau jadi apapun di situ, harus tetap profesional," ujar Totok.
Seiring itu menurutnya disrupsi era digitalisasi dewasa ini, memudahkan seseorang membuat media online dengan instan. Selama 33 tahun menjadi wartawan, Totok tahu persis bagaimana lapangan itu harus dijaga.
"Ya gimana, (sekarang) satu orang punya media, dia pemiliknya, dia pemimpin redaksinya, dia pekerjanya, dia pula yang baca, nah ini penomena yang terjadi sering dikeluhkan kepada kami," jelas Totok.
Dewan Pers sangat berharap bahwa tantangan distrupsi digital demikian besar, karena bikin media sekarang itu sehari bahkan satu jam selesai, akan tetapi bukan berarti main kerja sama, langsung tayang.
Ada fungsi pers tegasnya yang mesti dijaga, yakni sebagai kebutuhan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
"Kalau pers itu berubah jadi PR (public relationship), maka ini salah kaprah. Karena fungsi PR itu mempromosikan, sementara pers itu mengontrolnya, meskipun ada pula unsur promosinya di situ," tegas Totok sembari meminta DPRD jangan anti kritik.
Media itu kata Totok harus ada legitimasi publik. "Harus didata Dewan Pers dulu, itu tidak mudah, karena dua prinsip yang dilakukan. Pertama verifikasi administrasi, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dari aturan yang dibuat oleh masyarakat pers sendiri, kemudian prinsip kedua harus jelas, berbentuk badan hukum untuk menjamin bahwa publik itu disuguhi oleh sebuah lembaga yang bertanggung jawab," beber Totok.
Kalau akreditasi Dewan Pers itu menjadi syarat untuk mendapatkan kerja sama, Totok mempersilahkannya.
"Ya silakan saja, kenapa kok jadi penting, karena yang punya proyek itu wajib tahu bahwa kalau perusahaan yang menang harus bertanggungjawab. Kami tidak mewajibkan, gak papa, tugas kita hanya mendata, tapi yang rugi kalian sendiri, ketika (perusahaan media) menang, (tapi) tidak tahu punya siapa, (sudah) bayar DP, selesai bubar, tapi gak jalan," kata Totok sambil berharap itu tak terjadi.
Kalau sudah diakreditasi Dewan Pers, Totok menjamin semua jelas, baik domisilinya, perusahaannya, penanggungjawabnya, dan juga performance-nya.
"Jadi syarat kerjasama dengan media itu performance, biar media besar tapi yang nonton cuma seribu, apa lebih baik dengan yang katanya medianya kecil atau sedang, tapi yang baca 100 ribu ternyata. (Data) Performance itu bisa ditunjukkan (perusahaan media)," ungkap Totok yang juga pendiri klub sepakbola Arema Malang ini.
Totok juga mengingatkan ada juga media yang punya oknum Kepala Dinas Kominfo sendiri. "Ada juga yang nakal, kadang-kadang yang menang itu kelompoknya sendiri, jujur saja nih, itu kadang ada juga medianya punya (oknum) Kadiskominfo sendiri, tapi itu tidak boleh, sebaiknya jangan. Kalau teman-teman (media) yang sudah susah payah membangun perusahaannya, ya harus diapresiasi," tandas Totok.
Usai mendengarkan penjelasan tersebut, Sekretaris DPRD Kalsel, Muhammad Jaini merasa lega.
"Apa yang jadi masukan konstruktif yang diberikan Pak Totok tadi, bahwa kita sama-sama menjunjung tinggi profesionalitas dalam bekerja. Dan kami siap untuk menjadi mitra, kita sama-sama memberikan informasi yang berimbang kepada publik," timpalnya.