bakabar.com, BANJARMASIN – Lawyer Banua di bawah naungan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) segera membuka posko pengaduan untuk masyarakat terdampak banjir di Kalimantan Selatan.
Organisasi profesi advokat ini berniat menggugat Sahbirin Noor dalam kapasitasnya sebagai gubernur Kalsel.
Lewat posko itu, Peradi akan menampung para korban terdampak banjir dari penjuru Kalsel yang hendak menggugat pemerintah.
Peradi menilai Gubernur Sahbirin telah lalai atas banjir yang melanda Kalsel sejak 12 Januari lalu, salah satunya, terkait tiadanya warning sistem atau peringatan dini ke warga.
“Kami masih koordinasi dan menyiapkan teknisnya,” ujar Ketua Young Lawyer Comitte (YLC) DPC Peradi Banjarmasin, Muhammad Pazri, Selasa (26/1).
Menurutnya, gugatan Class Action merupakan hak konstitusi warga sesuai Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Pemerintah Provinsi Kalsel dinilai lalai dalam penanganan bencana sehingga menimbulkan kerugian materiil, maupun immaterial,
“Tidak ada peringatan dini, atau persiapan terkait hujan deras yang terjadi pada 9-13 Januari lalu. Ini yang menjadi kelalaian pemerintah,” ujarnya.
Lantas kapan posko aduan untuk para korban banjir ini dibuka?
Besar kemungkinan, Februari mendatang. Pasalnya, ujar Pazri, pihaknya masih perlu persiapan guna memantapkan langkah hukum ini.
“Iya (kemungkinan Februari, red) teknisnya masih disiapkan semua administrasi dan strateginya,” beber Pazri.
Terlebih, saat ini banyak organisasi advokat di Banua termasuk Peradi juga masih fokus ke penggalangan bantuan korban banjir.
Pazri bilang langkah untuk gugatan warga memang perlu persiapan matang. Tak hanya soal teknis dan penghimpunan aduan korban. Tapi juga dari segi tim advokat harus solid.
Soal netralitas advokat yang tergabung di tim juga harus terjaga. Jangan sampai ada keberpihakan di salah satu advokat. Sehingga harus selektif dalam menjaring advokat yang tergabung.
“Jangan sampai ketika dihimpun, dan sudah kompak, salah satu advokat berafiliasi dengan partai tertentu pada saat maju sebelumnya, sehingga tidak netral pengacaranya. Ini juga jadi pembelajaran bagi kami,” jelas advokat muda dari LBH Borneo Law Firm ini.
“Harus benar-benar selektif, ketika on the track independen gugatan, jadi sifatnya benar-benar memperjuangkan klien. Jangan sampaikan ketika maju, kan yang sulitnya ketika kepala Advokatnya ada 10-20 bahkan 100 orang yang bergabung di class action ini ternyata ada nego di belakang, kan akhirnya tidak netral dan melanggar kode etik,” lanjutnya.
Itu sebabnya, mengapa gugatan class action tak bisa cepat dilakukan. “Itu juga jadi perhitungan kami, sehingga harus benar-benar matang tim. Mekanisme, tata cara dan menyusun teknisnya seperti apa,” tukasnya.
Mahkamah Agung mengatur konsep class action melalui Peraturan MA Nomor 1/2002.Pasal 1, gugatan class action didefinisikan sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Class action tidak sebatas perubahan kebijakan tapi lebih menekankan kepada ganti rugi atas kerusakan dan menuntut dilakukannya pemulihan pasca-bencana.
Sebagai gambaran, gugatan serupa pernah dilayangkan kelompok warga ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, awal 2020 lalu.
312 korban banjir itu meminta majelis hakim untuk menghukum Gubernur Anies dengan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp60 miliar dan ganti rugi Rp1 triliun ke para penggugat.
Mereka menilai pemerintah abai karena tidak memberikan peringatan dini agar warga korban bisa bersiap diri menghadapi banjir yang melanda Jakarta, 1 Januari 2020 silam.
Terkait warning sistem, bakabar.com masih terus mencoba mengonfirmasi Gubernur Sahbirin, BPBD Kalsel, maupun Pjs Sekda Provinsi Kalsel. Namun sampai berita ini ditayangkan, baru pihak BPBD yang merespons singkat.
“Ya kalau ini kita perlu kehati-hatian saya coba koordinasi dulu dengan pimpinan,” jelas Plt Kepala BPBD Kalsel Mujiyat, Selasa (26/1) siang.
Sebagaimana diketahui, Pemprov Kalsel menetapkan status siaga darurat banjir pada Kamis, 14 Januari 2021.Keputusan darurat tersebut tertuang dalam Surat Pernyataan Nomor: 360/038/BPBD/2021.
"Atas nama Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan ini menyatakan bahwa kejadian dimaksud sebagai bencana alam. Dengan ini menetapkan dan meningkatkan Status Siaga Darurat Bencana Banjir, Tanah Longsor, Angin Puting Beliung dan Gelombang Pasang menjadi Status Tanggap Darurat," ujarnya.
Di hari yang sama, peringatan ke warga diumumkan gubernur melalui media massa, termasuk melalui akun Paman Birin.
Kepala BPBD Kalsel Mujiyat mengatakan penetapan status tanggap darurat banjir sudah dilakukan sesuai persyaratan yang berlaku.
“Dasar kita adalah apabila ada minimal dua kabupaten yang menetapkan status tanggap darurat. Jadi sudah otomatis naik [status],” ujarnya.
Saat itu, pemerintah menetapkan status darurat pada Kabupaten Tanah Laut, dan Banjar melihat dampak dan durasi air pasang yang melanda.
Tuai Dukungan
Langkah Peradi menggugat pemerintah terkait banjir Kalsel mendapat dukungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, dan Walhi Kalsel.
“Bisa jadi [class action]. Tapi kita pikirkan nanti pasca-tanggap darurat, dan pemulihan banjir,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada bakabar.com, Senin (25/1) malam.
Menurut Walhi, banjir dampak dari alih fungsi lahan menjadi pertambangan, dan perkebunan monokultur. Walhi melihat warga yang merugi akibat banjir sudah sepatutnya menggugat pemerintah.
“Kami sepakat karena ini sebagai wujud hak konstitusi warga negara yang meminta pelayanan kepada negara, dan negara memiliki kewajiban memastikan itu,” ujar Achmad Rozani, manajer Tata Ruang, dan GIS Walhi Nasional, dihubungi terpisah.
Terkait apa saja yang perlu disiapkan, Rozani mengatakan Walhi Nasional akan berkoordinasi lebih dulu dengan Walhi Kalsel.
Senada, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah melihat ada unsur kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Bumi Lambung Mangkurat.
Merah, seperti dilansir dari Tirto.id, merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah, kata Merah, juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan.
Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalan UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha.
"Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang," ujar Merah.
Tembus 100 Ribu Jiwa
Sampai hari ini, bencana banjir membuat 100.881 warga Kalsel mengungsi. Presiden Jokowi menyebut banjir yang melanda Kalsel menjadi yang terparah sejak 50 tahun terakhir.
“Ini saya meninjau banjir Provinsi Kalimantan Selatan yang terjadi di hampir 10 kabupaten dan kota. Ini adalah sebuah banjir besar lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan,” kata Jokowi saat mengunjungi Jembatan Sungai Salim, Jalan Ahmad Yani Km 55, Kabupaten Banjar, Senin 18 Januari kemarin.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
Catatan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.
IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.
Walhi juga menemukan sebanyak 814 lubang di Kalimantan Selatan milik 157 perusahaan tambang batu bara. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi.
Sudah hampir dua pekan bencana banjir menerjang Kalimantan Selatan. Lembaga Penerbangan, dan Antariksa Nasional atau LAPAN menemukan luasan genangan banjir tertinggi mencapai 60 ribu hektare di Barito Kuala, Kabupaten Banjar 40 ribu hektare, Tanah Laut 29 ribu hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah 12 ribu hektare, Hulu Sungai Selatan 11 ribu hektare, Tapin 11 ribu hektare, dan Tabalong sekitar 10 ribu hektare.
Sementara luas genangan air di Kabupaten Balangan, Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, Hulu Sungai Utara, Kota Banjarmasin, hingga Kabupaten Murung Raya antara 8 sampai 10 ribu hektare.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalsel mencatat, hingga Senin 25 Januari, jumlah korban banjir mencapai 584.279 warga dari total 171.329 kepala keluarga.
BPBD Kalsel mencatat 94.029 rumah terendam, dan sebagian rusak akibat terjangan banjir. Air bah juga meluluhlantakkan 68 jalan, 75 jembatan, 608 rumah ibadah, dan 735 sekolah.
Jumlah pengungsi akibat banjir sampai hari ini mencapai 100.881 jiwa, dengan total yang sudah keluar mencapai 17.004 jiwa. Banjir terparah merendam Kabupaten Banjar, dengan 235.076 jiwa dari 55.904 KK, 1.254 di antaranya mengungsi.
Terparah dalam Sejarah, Jokowi Blakblakan Biang Kerok Banjir Kalsel