Tak Berkategori

Datu Landak (2), Asal Gelar ‘Datu Landak’ dan Kesaktiannya Mencabut Kayu Raksasa

apahabar.com, BANJARMASIN – Syekh Muhammad Afif dikenal sebagai ulama yang memiliki kesaktian. Julukan ‘Datu Landak’ dan…

Featured-Image
Masjid Al Karomah Martapura. Foto-gorden313.yolasite.com

bakabar.com, BANJARMASIN - Syekh Muhammad Afif dikenal sebagai ulama yang memiliki kesaktian. Julukan 'Datu Landak' dan riwayat pembangunan Masjid Al Karomah Martapura adalah bukti nyata yang menguatkan kepercayaan masyarakat tersebut.

Julukan "Datu Landak" didapat Syekh Muhammad Afif bukan karena memelihara landak, sebagaimana sahabat Rasulullah SAW yang Abdurrahman bin Sakhr Ad Dausi yang bergelar "Abu Hurairah" karena memelihara banyak kucing.

Syekh Muhammad Afif atau Tuan Guru H Muhammad Afif adalah ulama berpengaruh di zamannya. Gelar Landak yang disematkan masyarakat pada diri beliau bukanlah gelar sembarangan.

Sebagaimana diceritakan Tuan Guru H Syaifuddin Zuhri (ulama keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari), Syekh Muhammad Afif bergelar 'Datu Landak' dikarenakan mantapnya beliau dalam berzikir.

"Jika beliau berzikir, bulu di badan beliau berdiri, menembus baju yang dikenakan," ujar ulama sepuh Banjarmasin itu.

Bulu berdiri tegak di setiap Syekh Muhammad Afif ketika berzikir tersebut diibaratkan masyarakat seperti bulu landak. Sehingga masyarakat menjulukinya dengan Datu Landak.

Datu Landak selain dikenal sebagai seorang ulama, beliau juga dikenal memiliki 'kesaktian'. Riwayat berdirinya masjid Al karomah Martapura adalah salah satu bukti nyata kekeramatan Datu Landak.

Sebagaimana diceritakan dalam buku "Datu-Datu terkenal Kalimantan Selatan", pada tahun 1896 M/1314 H masyarakat Martapura ingin mendirikan Masjid Jami. Inisiatif tersebut disambut baik dari kalangan ulama dan hartawan. Di antaranya yang mendukung dibangunnya masjid tersebut adalah Haji Muhammad Taher (Kampung Pesayangan) yang dikenal dengan sebutan Datu Kaya dan Haji Muhammad Natsir di kampung Melayu Martapura.

Datu Landak terpilih sebagai orang yang mencari kayu besar untuk dijadikan tiang masjid, bersama dengan Haji Muhammad Khalid bin Yahya, Haji Muhammad Idris, dan M Khottah (tukang pijat). Tiga orang yang menemani Datu Landak adalah keponakan beliau sendiri.

Maka berangkatlah mereka berempat ke pedalaman hutan di tepian Sungai Barito. Di perjalanan mereka sempat bertemu dengan orang-orang suku dayak yang menghuni hutan tersebut.

Diceritakan, sempat beradu sakti antara Datu Landak dengan tokoh suku dayak, karena mereka meminta dikalahkan terlebih dulu, jika ingin membawa pohon kayu mereka.

Dari adu sakti tersebut, Datu Landak dapat mengalahkan kesaktian mereka, hingga mereka mengaku kalah dan mengikat tali persahabatan. Orang-orang dayak itu kemudian ikut membantu pencarian kayu yang dimaksud Datu Landak.

Baca Juga: Datu Landak (1), Pada Dirinya Mengalir Darah Dua Ulama Besar Nusantara

Sesampainya di hutan yang dihuni pohon-pohon besar, Datu Landak menghidupkan perapian dengan membakar sesuatu yang menebar wewangian. Setelah asap menebar dan wewangian menjalar, Datu Landak beraksi di luar akal sehat. Beliau mencabuti pohon-pohon besar itu layaknya mencabut rumput saja.

Sekitar 41 batang pohon terkumpul, 4 batang di antaranya adalah kayu yang berukuran lebih besar. 2 kayu cendana dan 2 batang lainnya adalah kayu gaharu.

Lokasi tempat pohon-pohon dicabut itu kemudian menjadi danau. Di tengah danau terdapat serumpan bamban yang berputar, sekarang disebut dengan Bamban Beredar.

Ketika menyeret pohon ke sungai, pohon-pohon besar yang diseret Datu Landak menimbulkan bekas yang cukup besar, hingga menjadi anak sungai. Peristiwa itu kemudian diabadikan dengan nama sungai tersebut, yakni Sungai Landak.

Di lokasi lain, kayu-kayu ditarik itu tidak hanya memberi bekas dengan terbongkarnya tanah, tapi juga mengeluarkan intan permata. Oleh Datu, permata itu disimpan kembali ke dalam tanah, yang beliau beri pagar dari rumpun bamban. Tempat itu kemudian dikenal dengan "loa bamban".

41 batang kayu itu pun kemudian dibentuk seperti rakit (dengan kayu pelampung) di sungai dan ditarik sebuah kapal.

Kayu pelampung itu di di antaranya dimanfaatkan menjadi beduk Masjid Al Karomah Martapura.

Sesampainya di Martapura, Datu landak dan ketiga keponakannya disambut dengan suka cita. Puluhan sinoman Hadrah ramai menyambut kedatangan beliau.

img

Foto-disbudpar.banjarkab.go.id

Pada malam hari, obor dan lilin dinyalakan di lanting untuk menerangi perjalanan kapal yang membawa kayu tersebut.

Pada Minggu 10 Rajab 1315 H/1897 M tepat di jam 09.099 pagi didirikanlah ke empat tiang (soko guru) yang menjadi penopang utama masjid. Proses ganjil juga terjadi selama pendirian.

Sebagaimana disebutkan dalam buku yang sama (Datu-datu Terkenal Kalimantan Selatan), Datu landak hanya menepuk tanah dan 4 batang pohon itu berdiri di tempat yang sudah ditentukan. Wallahu'alam.

Datu Landak diketahui wafat pada usia 90 tahun pada 1916 M, dan dimakamkan di desa Kelampayan. Tak jauh dengan makam datuknya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Baca Juga:Habib Ibrahim Al Habsyi Nagara (1), Kejadian Ganjil yang Menyingkap 'Keilmuan' Sang Ulama

Baca Juga:Habib Ibrahim Al Habsyi Nagara (2), Tempuh Hadramaut-Kalimantan Hanya Karena Sebuah Pena

Editor: Muhammad Bulkini



Komentar
Banner
Banner