Kalsel

Curhat Mahasiswi Korban Catcalling di Banjarmasin, Cemas hingga Trauma Masa Lalu

apahabar.com, BANJARMASIN – T (19), mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, korban catcalling dosennya sendiri,…

Featured-Image
T (19), mahasiswi UIN Antasari Banjarmasin korban catcalling dosennya sendiri rupanya punya trauma di masa lalu. Foto Ilustrasi-apahabar/Riki

bakabar.com, BANJARMASIN – T (19), mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, korban catcalling dosennya sendiri, nampaknya belum sepenuhnya bisa bernafas lega.

Meski sang dosen berstatus tenaga honorer itu sudah dinonaktifkan, namun rasa cemas hingga trauma masih tetap menghantuinya.

Lewat wawancara langsung dengan bakabar.com, Kamis (17/2), T mengaku tidak hanya sekali mengalami perlakuan tak senonoh.

T baru menginjak semester awal. Sesaat sebelum ia duduk di bangku kuliah, sempat menjadi guru ngaji di satu rumah tahfiz Banjarmasin.

Awalnya, kedekatan T dengan para santri dan orangtua mereka adalah hal yang wajar. Sampai pada suatu saat, dirinya mendapati pesan cukup intens oleh salah satu orangtua santri.

Pesannya sudah mengarah menggoda. Bahkan, T diminta berswafoto untuk kemudian dikirimkan ke orangtua tersebut.

Saat ditanya tujuannya, sungguh mengejutkan. "Hanya untuk dilihat tiap malam, biar terbawa mimpi," kata T menirukan balasan orangtua santri.

Tentu risih, namun hal tersebut diredam begitu saja oleh T. Pesan si orangtua tak pernah lagi direspon.

Kejadian itu terjadi tepat saat T masih masa ospek di kampus. Setelah resmi mengecap bangku perkuliahan, dirinya tak lagi mengajar di rumah tahfiz tersebut.

Singkat cerita, T kembali mengalami kejadian serupa saat di bangku kuliah. Pelakunya merupakan dosennya sendiri.

Tak sekali dua kali dosen itu mengirim pesan rayuan ke T. Bahkan saat sudah larut malam sekalipun. Isinya sama sekali tak berkaitan dengan urusan perkuliahan.

Seperti mengirim pesan dengan panggilan 'beb' serta emoji [ungkapan perasaan melalui lambang di Whatsapp] love.

Merasa tidak nyaman serta trauma dengan kejadian di masa lalu, T akhirnya memutuskan melapor kejadian itu ke Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Antasari.

Pelaku dipastikan sudah nonaktif. Berdasar hasil rapat pimpinan, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Antasari, Irfan Noor juga memastikan pelaku tak bisa lagi menjadi tenaga pengajar di seluruh fakultas.

"Status honorer yang bersangkutan juga akan dilimpahkan ke bagian kepegawaian untuk dilakukan pembinaan," katanya kepada bakabar.com, Senin (14/2).

Sanksi pemecatan dirasa sudah paling maksimal. Pelaku dijerat pelanggaran moral. Mengingat, kata dia, dalam aspek hukum bukti yang dibeberkan DEMA, rektorat menilai tak cukup kuat menjerat pelaku sebagai kekerasan seksual.

Irfan merujuk pada Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

"Dalam isi chatingan itu tak ada satu pun yang masuk aspek seksualitas," ujarnya.

Kendati demikian, pihak kampus mengklaim persoalan ini tetap jadi perhatian serius. Meski dirasa tak masuk kekerasan seksual, pelaku tetap bisa dijerat pelanggaran moral.

Irfan mengimbau seluruh mahasiswanya agar tak merespons pesan singkat dari dosen maupun tenaga pendidik, saat waktu istirahat. Terlebih, konteksnya tidak berkaitan dengan soal perkuliahan.

Mereka juga diimbau agar bisa melaporkan ke pihak kampus, apabila ada dosen yang melakukan tindakan tidak terpuji, apalagi menjurus hingga ke pelecehan seksual.

"Jangan takut untuk melapor ke kampus, kami pasti akan menindaklanjuti apa yang menjadi keluhan para mahasiswa," imbaunya.

Pandangan berbeda justru diutarakan pemerhati perempuan dan gender, Anna Desliani. Ia menilai kasus tersebut sudah masuk kategori pelecehan seksual.

"Sebab, korban sudah merasa tidak nyaman," ujarnya kepada bakabar.com, Kamis (17/2).

Memang dalam fenomena sekarang, menurut Anna, panggilan 'beb' sudah seperti hal lazim. Tetapi, konteksnya hanya dalam pertemanan khususnya sudah sangat dekat.

"Jadi gak masalah panggilan seperti itu," ucapnya.

Kemudian, pesan yang dikirimkan si dosen saat larut malam juga sudah dirasa tak wajar. Sebab, jauh dari konteks perkuliahan.

"Sekalipun saat waktu perkuliahan, apabila mahasiswinya merasa tidak pantas dan tak nyaman, maka itu sudah masuk dalam pelecehan," beber Anna.

"Kampus mestinya melihat lebih jauh konteks isi pesannya," pungkasnya.

Komentar
Banner
Banner