Nasional

Berlian Banjarmasin: Kutukan Sejarah Membuat Belanda Tak Bisa Menjual

apahabar.com, BANJARMASIN – Museum di Belanda dikabarkan bakal mengembalikan berlian Banjarmasin. Kabarnya Belanda tak bisa menjual…

Featured-Image
Ilustrasi Berlian Banjarmasin. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN - Museum di Belanda dikabarkan bakal mengembalikan berlian Banjarmasin. Kabarnya Belanda tak bisa menjual berlian 70 karat itu karena kutukan. Benarkah?

Diketahui, di balik kecemerlangannya, batu mulia asal Kalimantan ini memiliki kisah yang menyentuh.

Saat Belanda bercokol di Indonesia, Kalimantan merupakan salah satu koloni Belanda yang banyak menghasilkan kekayaan yang memenuhi pundi-pundi Belanda.

Banjarmasin adalah kota seribu sungai. Dulunya adalah ibu kota dari Kesultanan Banjar. Sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin menjadi nadi kehidupan masyarakat Banjarmasin. Tahun 1526, Banjarmasin yang masih bernama "Oloh Masih" (orang Melayu) merupakan perkampungan yang dipimpin oleh Patih Masih dari Sumatera.

1526-1550, Banjarmasin mulai membentuk tatanan pemerintahan yang lebih tinggi dibawah Kerajaan Daha. Dengan dukungan Kesultanan Demak, Pangeran Samudera (Raja I) membawa Banjarmasin melepaskan diri dari Daha.

Dari abad ke 15 hingga abad ke 19, Banjarmasin telah menjadi pusat perdagangan permata berkualitas tinggi dari India. Selain dari India, di Banjarmasin juga diperdagangkan berbagai batu lokal yang memiliki kecemerlangan luar biasa.

7 Juli 1607, ekspedisi Belanda, dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin. Tahun 1612 Belanda menggempur Banjar Lama (Kampung Keraton) dengan meriam mengakibatkan istana kesultanan Banjar hancur. ibu kota kesultanan kemudian dipindahkan ke Martapura.

Dan selama abad ke-18 M, Belanda telah mengeruk sekitar 50.000 karat berlian dari Banjarmasin. Pada tahun 1835 Belanda mengirimkan para ilmuwannya untuk ekspedisi ke Banjarmasin. Saat itu yang berkuasa di Banjarmasin adalah Sultan Sulthan Adam Al-Watsiq Billah atau dikenal juga Sultan Panembahan Adam.

Sultan Panembahan Adam memerintah Banjar antara tahun 3 Juni 1825 sampai 1 November 1857. Al-Watsiq Billah merupakan gelar yang digunakan para Khalifah dinasti Abbasiyah. Para Ilmuwan Belanda bertemu dengan Sultan Panembahan Adam yang menyambutnya dengan baik.

Kepada tamu-tamunya, sultan menunjukan daerahnya yang indah. Demikian pula pertunjukan kesenian khas Banjar dipertontonkan di Istana yang indah. Alih-alih terkesan dengan hiburan yang disuguhkan, sesuatu telah menarik perhatian para ilmuwan saat itu, yaitu batu berharga yang dikenakan sultan sebagai perhiasan.

Akhirnya mereka mengetahui bahwa sultan banyak memiliki berbagai batu berlian dan permata. Hal itu menjawab pertanyaan mengenai sumber kekayaan sultan yang besar. Padahal secara formal sultan hanya mendapat tunjangan tidak seberapa dari pemerintah Belanda.

Belanda akhirnya mabuk dengan kekayaan sang Sultan demikian pula dengan wilayah Banjarmasin yang kaya dengan batu bara. Pada 28 September 1849, Gubernur-Jenderal Jan Jacob Rochussen datang ke Pengaron di Kesultanan Banjar untuk meresmikan pembukaan pertambangan batu bara Hindia Belanda pertama yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau Bentang Emas.

Pada 1 November 1857 Sultan Panembahan Adam wafat dan diganti oleh Pangeran Tamjidillah yang naik takhta pada 3 November 1857-25 Juni 1859. Pangeran Tamjidillah berkuasa melalui tipu muslihat dengan menyingkirkan Pangeran Prabu Anom yang lebih berhak atas takhta Banjar. Pangeran Tamjidillah adalah putra selir Tionghoa bernama Nyai Dawang bergelar Nyai Besar Aminah Pengangkatan Pangeran Tamjidillah hasil kongkalikong dengan Belanda, ditentang secara adat oleh Dewan Mahkota kesultanan dan rakyat Banjar.

Pangeran Prabu Anom disingkirkan ke Jawa karena dianggap membahayakan Belanda. Namun kekuasaan Pangeran Tamjidillah hanya berlangsung 2 tahun. Pada 25 Juni 1859, Ia dimakzulkan Hindia Belanda dan dikirim ke Buitenzorg Bogor.

Pada 1859 setelah Pangeran Tamjidillah di makzulkan Pemerintah Belanda menyita harta karun kesultanan Banjar dan mengirim semuanya ke Belanda. Kapal-kapal Belanda mengangkut rampasan perang Banjar melalui Sungai Martapura, ke Batavia lalu ke Belanda.

Namun Belanda tak akan melupakan perlawanan Pangeran Antasari sebagai Sultan Banjar yang tak pernah tunduk. Perang tersebut pecah di Pengaron tanggal 25 April 1859 saat Pangeran Antasari memimpin 300 orang prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron.

Perang Banjar meluas diberbagai tempat dengan sengit. Dengan dukungan persenjataan modern lambat laun Belanda berhasil mendesak kekuatan Pangeran Antasari. Walaupun Belanda berhasil mendesak, namun Pangeran Antasari tak dapat ditangkap.

Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 di usia 75 tahun. Dan di tahun itu perjuangan Pangeran Antasari dapat dipadamkan sekaligus menandai berkahirnya Kesultanan Banjar yang berhasil dikuasai oleh Belanda.

Berlian Banjarmasin

Frank, ahli berlian berpengalaman dari Royal Coster Diamonds di Amsterdam dalam The Banjarmasin Diamond: Gem With a Questionable History menuliskan Pemerintah Belanda memutuskan untuk menginventarisasi harta haram itu. Di antara semua kekayaan yang diringkid itu, mereka menemukan berlian kasar berukuran besar.

Beratnya sekitar 70 karat. Mereka menamai berlian itu sesuai daerah asalnya yaitu Berlian Banjarmasin.

Berlian itu pertama kali mereka tawarkan sebagai hadiah kepada Raja Willem III. Tetapi Raja Willem III menolaknya karena mungkin butuh banyak uang untuk memperbaikinya.

Karena berlian tersebut merupakan spesimen istimewa, mereka mengirimnya ke Museum Sejarah Alam Belanda untuk dipajang. Tetapi museum itu tidak menginginkan batu itu. Tidak jelas apakah ini karena persoalan moral atau sesuatu yang lain.

Pada sekitar tahun 1900-an seorang menteri kolonial mencoba untuk menjual berlian agar menghasilan uang. Namun, lagi-lagi tidak ada yang menginginkan Berlian Banjarmasin. Sang Menteri menduga bahwa ukuran berlian itulah yang membuat pembeli takut. Dia kemudian memutuskan untuk memotong berlian itu.

"Karena gagal dijual, ia ingin menyingkirkan berlian yang dianggapnya kotor dan menjijikan, hingga akhirnya menjadi koleksi Rijkmuseum di Amsterdam" Papar Caroline Drieenhuizen, sejarawan Belanda mengungkap sekelumit kisah berlian Banjarmasin dalam Video Banjarmasin Diamond: Solving the mystery of the 'ugly, dirty' gem yang di rilis BBC Indonesia's
Firma E. and J. Vital Israels kemudian membuat berlian 70 karat menjadi berlian 36 karat dan dibentuk persegi. Namun, tetap saja, pembeli menjauh dari "batu curian" itu. Walaupun ukurannya telah dikurangi namun masih tidak menarik hati pembeli. Akhirnya pilihan terakhir adalah memajangnya di museum nasional Rijksmuseum.

Tetapi hal itu membuatnya lebih buruk. Berlian yang sudah dipotong tidak memiliki makna sejarah dan dikembalikan lagi ke E. dan J. Vital Israels agar bisa dijual. Tetapi mereka juga tidak dapat menemukan pembeli untuk berlian tersebut. Pada tahun 1902, pemerintah memutuskan untuk menyerah. Mereka mengambil kembali Berlian Banjarmasin dan menyimpannya.

Sama halnya dengan Banjarmasin yang kekayaannya dibawa ke Belanda, Raja Lombok juga mesti kehilangan kerajaannya karena Belanda yang menyita semua harta. Di antara harta jarahan tersebut terdapat berlian dan batu permata. E dan J. Vital Israels sebagai juru taksir perhiasan-perhiasan tersebut berhasil menjual beberapa batu. Potongan batu lainnya pergi ke Rijksmuseum untuk dipajang.

Rijksmuseum memiliki ruang pameran khusus kekayaan yang dijarah dari Lombok. Kini tempat untuk Berlian Banjarmasin juga ada. Akhirnya, orang bisa melihatnya setelah dipamerkan selama tiga bulan dan dilihat oleh sekitar 23.000 orang.

Pameran itu bertujuan mendidik warga Belanda tentang sejarah kolonial. Berlian itu mengingatkan pengunjung tentang sejarah "operasi militer" Belanda, agar tumbuh kebanggaan Belanda di masa kolonial

Namun disisi lain, pameran itu sesungguhnya mengoyak perasaan Bangsa Indonesia yang dijarah harta dan martabatnya, termasuk nyawa karena penjajahan dan ketamakan Belanda. Bahkan identitas Berlian Banjarmasin sempat tidak dituliskan asal muasalnya.

"Yang paling mengganggu saya adalah bahwa narasi dibalik berlian ini menjadi sudut pandang nasionalisme Belanda. Sedangkan kisah dari Indonesia dihilangkan dari berlian itu. Menurut saya berlian itu tidak seharusnya dimiliki Belanda. Berlian itu dirampas pada masa kolonialisme. Bagaimanapun juga hal itu tidak benar." Ujar Caroline.

Ketika Perang Dunia II berakhir dan Belanda harus kehilangan koloni mereka, berlian banjarmasin turut kehilangan makna simbolis.

Sekitar 250 barang sitaan dikembalikan ke Indonesia. Namun Berlian Banjarmasin tidak dikembalikan karena tidak ada kesepakatan.

Pemerintah Belanda kemudian menyimpannya kembali selama 50 tahun sebelum akhirnya dipamerkan tahun 2013 di Rijksmuseum.
Pada tahun 2001, menurut Frank, Berlian Banjarmasin sempat dipamerkan kembali di Muséum National d'Historie Naturelle Paris. Dan saat dikembalikan, Rijksmuseum masih kesulitan menampilkan berlian yang memiliki riwayatsebagai barang jarahan.

"Jelas, kami harus memeriksa berlian ini. Saat hujan turun di sore hari, kami pergi ke museum untuk melihat 'Banjarmasin'. Setelah berjalan-jalan selama beberapa menit, kami menemukannya. Aman disimpan dalam kotak kaca. Selalu luar biasa melihat berlian sebesar ini. Namun, saya juga mengerti mengapa begitu banyak orang menolak batu ini, tulis Frank.

Royal Coster Diamonds tempat Frank bekerja adalah tetangga Rijksmuseum. Jadi Frank bisa melihat 'Banjarmasin' dengan leluasa.Dalam pengamatannya berlian Banjarmasin yang asalnya sekitar 70 karat diubah menjadi 36 karat oleh para pekerja berlian, setidaknya telah menghilangkan setengah ukurannya. Mereka memotong berlian menjadi bentuk persegi panjang (ish).
Deskripsi lengkap tentang Berlian Banjarmasin menurut Rijksmuseum adalah: Berlian putih, agak persegi, tiga puluh enam karat dari Banjarmasin. Karakteristik lainnya adalah: Ukuran: l 2,1 cm × w 1,7 cm × h 1,4 cm dan memiliki berat: 7,65 gr

Kenapa Banjarmasin tidak laku? Padahal tidak ada keraguan dengan kecemerlangannya. Ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa barlian itu adalah rampasan perang. Tetapi mungkin juga ada alasan lain.

"Tapi, saya minta maaf untuk mengatakan, itu bukan batu yang sangat cantik. Soalnya, Berlian Banjarmasin mengandung banyak ketidaksempurnaan disebabkan kerusakan (bawaan) alami," papar Frank.

Mengingat ukurannya, kerusakannya itu mustahil untuk dihilangkan. "Tetapi saya juga melihat beberapa ketidaksempurnaan dalam pengelolahannya. Bisa jadi karena penggosok berlian tidak cukup terampil. Tetapi bisa juga karena peralatan yang tidak memadai."

Apakah Bisa Kembali ke Indonesia?

Tahun 2010, Kesultanan Banjar didirikan kembali dan mengklaim sebagi ahli waris seluruh artefak yang ada di Belanda. Sultan Banjar, Khairul Saleh pernah mengajukan permohonan pengembalian artefak dari kerajaan Belanda.

Ahmad Fikri Hadin, Kerabat Kesultanan Banjar mengatakan bahwa (artefak) yang dibawa Belanda tidak hanya berlian. Ada pula singgasana serta kursi kerajaan yang dilapisi emas serta artefal lainnya yang tidak terlacak secara detail.

"Kami ingin artefak-artefak itu dikembalikan semua. Karena itu adalah hak kesultanan Banjar." Katanya.

Menurutnya kesultanan sempat melakukan lobi ke Belanda, dipimpin langsung oleh Sultan Khairul Saleh utuk meminta Belanda mengembalikan barang-barang kesultanan Banjar. Tapi pihak Kerajaan Belanda tak bisa mengembalikan, karena dulu Kesultanan Banjar berbentuk staat atau negara. Sementara hari ini negara Banjar tidak ada lagi.

Mansyur, Sejarawan Banjarmasin juga mengungkapkan harapan bahwa berlian itu dapat kembali ke Banjarmasin. "Paling tidak mengembalikan ikon kita ke Banjarmasin, karena mau tidak mau intan itu dulunya dirampas. Jadi sudah selayaknya dikembalikan ke tanah asalnya," ujarnya dilansir bakabar.com dari Jernih.id.

Sejak 2015 pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk memulangkan artefak-artefak sejarah dari berbagai museum di dunia.

Upayanya itu mulai membuahkan hasil. Awal 2020, Belanda mengembalikan ribuan artefak ke Indonesia. Salah satunya adalah keris Pangeran Dipenogoro yang dulunya dikoleksi Museum Volkenkunde Leiden.

Komentar
Banner
Banner