bakabar.com, JAKARTA - Setiap tahun, tanggal 5 Desember diperingati sebagai Hari Relawan Internasional. Momentum ini bertujuan untuk mengapresiasi tindakan positif kemanusiaan lewat kesukarelaan.
International Volunteer Day (IVD), begitu nama lainnya, pertama kali ditetapkan oleh PBB pada 1985. Melalui Resolusi 40/212 tertanggal 17 Desember 1985, organisasi itu mengambil langkah untuk meningkatkan kesadaran akan kontribusi penting dari pelayanan sukarela.
Dengan begitu, diharapkan mampu mendorong lebih banyak orang untuk menawarkan layanan sebagai sukarelawan. Tak berhenti di situ, dalam resolusinya 52/17 tanggal 20 November 1997, Majelis Umum PBB pun memproklamasikan 2001 sebagai Tahun Relawan Internasional (IYV).
Tahun tersebut ditetapkan dengan maksud memajukan pengakuan sukarelawan, memfasilitasi pekerjaan mereka, menciptakan jaringan komunikasi, serta mempromosikan manfaat layanan sukarela.
Majelis Umum PBB dalam resolusinya 57/106 tertanggal 22 November 2002 lantas menyerukan program Relawan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNV). Program ini bertujuan guna memastikan potensi Hari Relawan Internasional terwujud sepenuhnya.
Penyelamatan di Kawah Merapi
Berbicara tentang relawan, barangkali masih lekat dalam ingatan Anda perihal betapa sulit dan terjalnya proses evakuasi Eri Yunanto di kawah Gunung Merapi pada Selasa (19/5/2015) silam. Medan terjal, labil, serta ancaman gas beracun jadi ancaman menyulitkan bagi relawan kala itu.
Adalah Andry Suzanto, Rahmad Diyono, Ridho, Bakat Setiawan, Endro Sambodo, dan Mukhsin – relawan yang turun langsung untuk mengangkat jenazah Eri. Tugas mereka tak mudah, perlu perhatian penuh untuk memantau keadaan suhu dan kemungkinan gas beracun.
“Melaksanakan operasi tidak boleh gugup. Kalau gugup, bisa jadi kita yang gantian dievakuasi,” ungkap salah seorang relawan, Bakat Setiawan yang akrab disapa Lahar, dikutip dari National Geographic, Senin (5/12).
Sementara itu, Endro Sambodo merasa ada campur tangan Tuhan saat dirinya menjadi rescuer di dasar kawah Merapi. Dia menuturkan bahwa suhu dan tekanan gas di kawah normal, bahkan aman untuk bernapas kala dirinya menuruni kawah.
Merawat Korban Perang di Tengah Desingan Rudal
Kisah tak kalah heroik juga datang dari negeri orang. Paramedis sukarelawan di Kota Bakhmut, Ukraina, sampai bolak-balik ke garis depan pertempuran yang brutal lagi penuh desingan roket dan tembakan.
Sebagaimana yang dialami Aleksandra Pohranychna, seorang relawan berusia 20 tahun. Dia merupakan satu-satunya paramedis yang melayani unitnya di lokasi sekitar 70 kilometer barat laut Bakhmut yang tak punya ambulans.
Pohranychna bahkan mesti menggelontorkan dana pribadi untuk membeli perlengkapan medis. Sang ayah, yang tinggal di Lviv, memberinya uang untuk membeli perlengkapan perlindungan pribadi.