bakabar.com, MARTAPURA – Selain menyuguhkan keindaan alam, Desa Paau, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar juga menyimpan kesenian, berupa musik Balian.
Desa Paau Kecamatan Aranio, Kebupaten Banjar yang terletak di Waduk Riam Kanan dengan jumlah 174 Kepala Keluarga, 570 jiwa.
Mayoritas penduduk di sana sebagai petani dan penambak ikan.
Letak geografis Desa Paau diapit hutan dan waduk serta dikelilingi oleh gunung, dengan ketinggian 100 sampai 150 MDPL.
Selain memiliki keindahan alam dan objek wisata ini Puncah Haur Bunak dengan ketinggian 1141 MDPL, serta memiliki tradisi yang mempunyai sejarah panjang bagi masyarakat Desa Paau.
Salah satunya adalah tradisi Babalian yang digelar setiap acara seserahan Hutan Desa Paau, tiap pasca panen besar pertanian warga.
Tahun ini, seserahan hutan nanti akan digelar pada tanggal 18-20 September 2021 mendatang.
Diketahui, hingga sekarang, tradisi Babalian di Desa Paau masih terjaga. Bahkan hingga generasi ke-7 tradisi adat ini terus berlangsung hingga sekarang.
Ketua Lembaga Adat Seserahan Hutan Desa Paau, Halidi (70) mengungkapkan, tradisi Babalian dulunya dilaksanakan kala ada seseorang warga yang sakit terkena penyakit ‘gunungan’ (bukan penyakit medis, red).
"Namun yang jadi pemukul gendang ini orangnya sedikit aneh. Dia membawa ekor dari kera putih dan dijadikan sebagai pemukul gendang. Ditegur oleh orang tua, (Jangan dipukulkan, lagi), namun sang pemukul gendang tidak mendengarkan," ujarnya.
Hingga pada saat itu, terjadi kekacaauan yang mengakibatkan sang pemukul gendang, rumah dan balai terlempar ke sana kemari.
"Untuk rumahnya dan menjadi batu pelatar, dan balai (panggung) terlempar ke teluk serta yang penabuh gendang terlempar dan sekarang menjadi batu Balian. Hingga sekarang, ke tiganya menjadi batu dan menjadi objek wisata di desa kita," terangnya.
Halidi adalah keturunan ketujuh sebagai pemain musik Balian, terhitung dari kakek moyangnya dahulu sejak tahun 1960 lalu.
Sang kakek dipilih langsung secara goib dengan melewati proses pencarian ‘mistis’.
"Saya adalah keturunan yang ketujuh, setelah saya ini, putus tidak bisa lagi anak saya yang melanjutkan. Jadi jika mau melanjutkan tradisi ini harus membangun baru lagi, dan itu banyak dananya," tuturnya.
Untuk mencari penerus setelah keturunan ketujuh ini, diterangkannya harus melewati persiapan yang sangat panjang.
Seperti menyediakan seserahan dan membuatkan baju untuk dikenakan pemain musik, yang dilakukan di Daerah Batu Balian Desa Paau.
"Jika wanita yang dipilih, nanti harus menyediakan pakaian wanita sesuai dengan adat Babalian, dan menyediakan kerudungnya, banyak yang harus disiapkan," jelasnya.
Halidi mengungkapkan, sebelum jadi pemain musik Balian tidak pernah belajar langsung kepada pemain musik yang terdahulu.
Anehnya, setelah ditunjuk jadi pemain musik Balian, langsung bisa. Bahkan, dengan piawai menggunakan semua alat musik yang dipakai dalam adat.
Alat musik itu seperti Biola, Babun (Gendang dengan dua kulit ditaip sisinya untuk ditabuh, red) Sarunai (Gamelan, red) serta Agung (Gong,red) dan Kulampat.
Musik Babalian, diungkapkannya memiliki 4 versi berbeda. Di antaranya adalah musik khayangan, musik 7 lapis batara bumi, musik Gunungan, dan musik Wisata.
"Jadi jika salah satu dari empat ini meminta, nanti saya tinggal memainkan. Dan musik yang saya mainkan ini tidak memiliki judul, dan memiliki berbagai macam ciri khas musiknya," ungkapnya.
Saat diminta oleh bakabar.com, Khalidi langsung mengambilkan alat musik biola dan memperagakan kemerduan suara dari musik khayangan, dan biasanya memakai Agung dan Sarunai, serta menggunakan terbang (rebana, red).
Musik Balian yang ada di Desa Paau berbeda dengan yang ada di daerah lain, dan memiliki khas dan pakem yang berbeda, serta tradisi yang lain dari yang lain.
"Musik babalian di tempat kita ini berbeda, dan tempat lain ke tempat lain pun juga berbeda penyelenggaraannya," bebernya.
Halidi mengharapkan tradisi ini agar bisa terus berjalan dan tidak tergerus oleh zaman.