bakabar.com, BANJARMASIN – Masih ingat kasus pembunuhan balita asal Kuripan, Banjarmasin, NMA (4)?
Jelang sidang putusan Kamis (6/1) mendatang, kasus pembunuhan NMA kembali nyaring terdengar.
Dalam sidang, DL (21) ibu tiri korban bakal duduk di kursi pesakitan menanti putusan hakim PN Banjarmasin.
Sebagai pengingat, DL diduga kuat menganiaya NMA hingga mengalami pendarahan otak, Mei 2021.
Teranyar, unggahan salah seorang kerabat NMA viral di jagat maya. Dia mencurahkan kekuatirannya jika DL akan dituntut bebas oleh jaksa penuntut umum.
“Kasus ini masih belum saja tuntas dan belum ada keputusan dari kejaksaan, karena si pelaku [terdakwa] mampu membayar pengacara untuk membela dirinya,” ujar Nur Hamidah lewat akun Instagramnya.
Terbit sejak 5 hari lalu, unggahan Nur Hamidah disukai oleh sebanyak 5.127 oleh warganet.
Tujuh bulan menanti, Nur – seperti dikutip dari Instagramnya – tampak gerah mengingat hakim tak kunjung menjatuhkan vonis terhadap DL.
“Si pelaku begitu kuat memasang topeng bahwa ia tak bersalah meskipun sudah ada 21 saksi yang menyebutkan bahwa dirinya memang menganiaya sampai menyebabkan meninggalnya NMA,” ujarnya.
Lanjut Nur, Minggu kemarin sudah ada keputusan dari jaksa bahwa si pelaku akan divonis 15 tahun penjara.
Yang dimaksud Nur adalah sidang pembacaan putusan kasus tewasnya NMA di PN Banjarmasin, Rabu 6 Oktober.
Jaksa telah menuntut DL dengan Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Ancaman maksimal 15 tahun penjara atau denda Rp3 miliar.
Yang menjadi persoalan, belakangan, Nur mendengar kabar jika jaksa akan menuntut bebas DL.
“Betapa sakit, hancur dan terpukulnya kami setelah mendengar si jaksa tiba-tiba memberitahu bahwa si pelaku akan dituntut bebas,” ujar Nur.
Nur juga mendengar jika luka lebam bekas pukulan benda tumpul dan hasil autopsi belum cukup sebagai bukti tewasnya NMA.
“Karena si pelaku membunuh sendirian, begitu leluasanya si pengacara berbicara bahwa semua saksi hanyalah berasumsi, ya Allah di mana keadilan?” sambungnya.
Kematian NMA memang tak wajar. Awalnya DL yang tak lain adalah ibu tirinya menyebut jika NMA tewas setelah jatuh dari sepeda. Namun hasil autopsi berkata lain.
Penyebab kematian lantaran NMA mengalami pendarahan di otak dan patah tulang tengkorak serta dipercepat dengan lebam di tubuh.
Saat penyelidikan bergulir polisi menemukan motif jika DL cemburu terhadap NMA.
Ayah korban dirasa lebih sayang kepada NMA dibanding ke pelaku dan anaknya.
DL sendiri memiliki seorang anak dari suami sebelumnya. Pada 2018, ia kemudian menikah dengan ayah NMA.
“Juga memiliki satu anak, ya si NMA ini," kata Kasat Reskrim Polresta Banjarmasin, Kompol Alfian Tri Permadi, Kamis, 3 Juni.
Sementara ayah korban mengaku tidak tahu tindakan istrinya itu."Kepada ayah korban, DL berkilah kalau NMA terjatuh," ujarnya.
Mereka berdua kemudian sempat takut mengantar korban kembali ke rumah neneknya lantaran ada luka lebam di tubuh korban.
Kejanggalan kematian terungkap dari laporan kakek-nenek NMA. Mereka curiga setelah menemukan sejumlah luka lebam di jasad cucu kesayangannya itu.
Lantas, benarkah jaksa menuntut bebas DL? bakabar.com lantas menghubungi Radityo Wisnu Aji jaksa yang menangani kasus DL.
Radityo buru-buru membantah anggapan kerabat NMA. Ia menilai ada kesalahan persepsi di pihak keluarga korban.
“Kuasa hukum mengajukan pledoi minta terdakwa dibebaskan. Bukan JPU yang menuntut bebas,” katanya.
JPU sendiri, kata dia, sudah membacakan tuntutan 15 tahun penjara terhadap terdakwa DL.
Radityo meyakini perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur pelanggaran pidana.
DL bahkan bisa dihukum lebih berat dari ketentuan. Di pasal 80 ayat 4 UU Perlindungan Anak mengatur bahwa hukuman bisa ditambah sepertiga dari ketentuan apabila yang melakukan adalah orang terdekat atau wali atau orang tua korban.
"Artinya bisa lebih. Alasannya karena ia orang yang diserahkan tanggung jawab untuk melindungi anak itu," jelas Radityo.
Kendati demikian ia menyerahkan segala putusan vonis DL ke majelis hakim PN Banjarmasin.
Sementara, Kuasa Hukum DL, Taufiqurrahman menjelaskan jika pledoi diajukan agar DL bisa dibebaskan.
Pledoi bebas lantaran tim pembela DL merasa ada yang janggal dalam proses sidang.
Sebelumnya, pihaknya sempat mengajukan eksepsi karena merasa keberatan dengan surat dakwaan.
“Surat dakwaan kabur. Tempus delicti-nya [waktu kejadian] berbeda-beda,” katanya dihubungi terpisah.
Kemudian, kata dia, ada keterangan saksi yang hanya atas dasar perkiraan. Kemudian dijadikan dasar tuntutan.
“Tidak melihat langsung kejadian penganiayaan,” katanya.
Kendati begitu, pada sidang putusan sela, eksepsi tersebut ditolak.
Tetapi pihaknya, kembali mengajukan keberatan kepada pengadilan tinggi.
Alasan lain, pihaknya mengajukan pledoi lantaran merasa tidak ada saksi yang benar-benar melihat langsung kejadian itu.
“Kemudian memang ada bantahan dari terdakwa,” katanya.
Kata dia, dari pengakuan terdakwa, memang korban sebelumnya sempat mengalami kecelakaan atau jatuh dari sepeda.
“Itu diakui juga oleh saksi ayah korban,” katanya.
Sebagai pembanding, bakabar.com kemudian menghubungi Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri.
Doktor jebolan Universitas Islam Sultan Agung ini menyebut tidak ada dasar hukum yang mengatakan jaksa bisa menuntut bebas terdakwa.
“Namanya saja jaksa penuntut umum, ya tugasnya menuntut,” ujar Pazri.
Lantas, bagaimana dengan tuntutan bebas yang pernah dilayangkan Jaksa Penuntut Umum Kejagung terhadap Valencya terdakwa kasus KDRT, 23 November 2020 silam?
Pazri memandang hal itu sebagai fenomena tersendiri. Tuntutan bebas terhadap Valency tak lepas dari diskresi langsung dari Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai penuntut umum tertinggi.
“Pertimbangannya merupakan bentuk wujud rasa keadilan dan hati nurani yang dinilai oleh jaksa agung pantas dan patut diterapkan kepada terdakwa,” Pazri menerangkan.
Pazri kemudian memberikan sedikit catatan terhadap fenomena tuntutan bebas yang pernah dilayangkan jaksa.
“Semestinya jika tuntutan demikian yang dihasilkan, perkara tersebut selesai di tahap pratuntutan atau bisa melalui restorative justice sebelum penuntutan,” tukas Pazri.
Tuntutan bebas, menurut Pazri hanya akan memberikan kesan seolah-olah jaksa menjadi tidak profesional.
“Karena ada peranan jaksa pada saat SPDP [Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan] dikirim dan sebelum tahap II atau P21 jaksa telah meneliti kelengkapan berkas untuk selanjutnya bisa diproses atau tidak ke pengadilan,” ujar Pazri.
Kasus Kematian Balita di Banjarmasin, Ibu Tiri Resmi Tersangka!