bakabar.com, MARTAPURA – Tepi Sungai Tabuk, salah satu kecamatan terujung Kabupaten Banjar terlihat ramai aktivitas warga, Minggu sore (24/1).
Puluhan tenda dadakan berjejer di bibir sungai. Di Desa Pejambuan, sekitar 3 jam dari Kota Banjarmasin, sebuah tenda berukuran setengah lapangan voli ikut berdiri.
Tenda ini berfungsi sebagai posko penyaluran bantuan sekaligus pengungsian bagi korban banjir yang melanda sepekan belakangan.
Air setinggi lutut orang dewasa merendam rumah mereka. Saban hari, puluhan warga mesti mengungsi di tenda darurat atas dermaga itu sejak dua pekan banjir melanda.
Karena sifatnya darurat, tenda dibikin seadanya. Hanya bertiangkan bambu, atapnya pun memanfaatkan kain sisa.
Saat air pasang mulai melanda, Masrani ke luar dari rumahnya dengan hanya sehelai baju di badan. Tak terpikir lagi di benaknya untuk menyelamatkan harta benda.
“Yang penting selamat dulu,” ujar warga RT 1, Desa Pejambuan ini.
Marjani terlihat bugar. Padahal usianya sudah 64 tahun. Pria satu ini juga aktif mendampingi warga terdampak banjir. Maklum, statusnya mantan pembakal alias kepala desa.
“Seumur hidup saya tinggal di sini, ini banjir yang terparah,” ujarnya.
Aktivitas hilir mudik perahu relawan mewarnai kawasan Sungai Tabuk sepekan belakangan. Di Desa Pejambuan, ratusan jiwa terus menanti bantuan.
Sudah hampir sepekan lamanya bantuan terakhir diberikan pemerintah. Pejambuan, salah satu desa yang terdampak banjir. Desa ini dihuni 200-an jiwa dari 76 kepala keluarga. Ada 65 rumah di 3 RT terendam banjir.
“Kami dapat bantuan dari Bupati Banjar Khalilurahman, terakhir lima hari yang lalu,” ujar Masrani.
Desa Pejambuan 20-an kilometer jauhnya dari Kota Banjarmasin. Pun, jaraknya dari Martapura, pusat Kabupaten Banjar sekira 21,6 kilometer.
Namun air yang merendam jalan memutus akses distribusi bantuan ke warga di Pejambuan.
Pejambuan sejatinya bisa swasembada pangan. Warganya rata-rata petani. Namun, banjir kali berbeda. Air bah ikut merendam hasil panen andalan mereka, padi.
“Padi di sini padi rawa. Padahal, kami baru saja panen November kemarin,” ujar Ketua RT 2 Arnayan.
Dalam situasi normal, biasanya satu rumah menyimpan 1 blek atau 12 kilogram beras. Cukup untuk bekal sebulan.
“Lebihnya baru kita jual ke Banjarmasin dan sekitarnya,” ujar Arnayan. “Tapi gabah kami jadi hitam-hitam karena terendam. Tak bisa dijual lagi,” sahut warga lainnya.
Untuk menyiasatinya, berkilo-kilogram gabah itu mereka jemur lagi seharian. Kondisi ini diperparah dengan tak adanya gas. Di posko pengungsian, mereka hanya menggunakan kayu bakar.
“Sekarang juga harga gas mahal. Kalau pun harus keluar itu hanya kondisi darurat saja, seperti ada warga yang sakit,” jelasnya.
Untuk fasilitas kesehatan, warga Pejambuan hanya mengandalkan sebuah posyandu yang berjarak selemparan batu dari posko pengungsian.
“Tapi petugas kesehatannya tidak berada di sini, mengungsi ke kampungnya,” ujar Arnayan.
Posko yang berada di dermaga desa itu kini disesaki puluhan warga. Mereka setia menanti bantuan.
Nyaris dua pekan lamanya air menggenangi rumah warga. Tingginya selutut orang dewasa. Mereka memilih bertahan hidup hanya dari bantuan luar.
Selesai bakabar.com membagikan bantuan, hujan kembali mengguyur Sungai Tabuk. Setengah jam kemudian, anak Sungai Martapura itu kembali pasang.
Gelombang tinggi memaksa motoris memperlambat laju perahu yang ditumpangi rombongan bakabar.com dan MG Elang Banjarmasin. Jika salah perhitungan, ombak pasti masuk ke rumah warga yang sudah terendam.
Di sisi lain, berkilo-kilogram beras yang coba dikeringkan warga tadi kembali basah karena hujan melanda. Jika sudah begini, warga hanya bisa mengandalkan bantuan warga luar.
“Penyebab utama air pasang di sini adalah hujan, jika hujan kita tidak tahu lagi mau ke mana,” tutur Misrani. “Dulu jika hujan, paling setinggi lutut banjirnya. Surutnya juga paling sepekan,” sambungnya.
Untuk beras, praktis mereka hanya mengandalkan stok yang tersisa. Sebagian sudah terbiasa hanya memakan mi mentah. Cukup diseduh dengan air secukupnya, mereka menyantapnya lahap tanpa lauk pauk.
Kemarin sore, bakabar.com dan MG Elang, salah satu organisasi relawan di Banjarmasin menyalurkan 72 paket bantuan, dan lebih dari 20 pakaian bekas layak pakai. Meski jauh dari cukup, Misrani tampak mensyukuri bantuan itu.
“Selain makanan, air bersih, kami juga butuh obat-obatan. Banyak warga terserang gatal karena kaki sering terendam air,” ujarnya.
Warga memang menggantungkan hidupnya dengan air sungai. Namun, jika sedang pasang, airnya keruh bagaikan kopi.
Air juga melumpuhkan akses jalan menuju Pejambuan. Seandainya tidak, desa ini bisa ditempuh beberapa menit saja melalui RS Sambang Lihum, Kilometer 17, Kabupaten Banjar.
“Butuh lebih 3 kilometer untuk ke jalan ke luar. Akses jalan juga terendam, mobil tidak bisa masuk,” ujar Misrani.
Kini satu-satunya akses terdekat menuju desa ini ialah sungai. Dari Dermaga Banua Anyar, Banjarmasin, butuh tak kurang 3 jam lamanya menyusuri sungai.
Sepanjang perjalanan, warga antre berebut sembako. Kiri dan kanan berjejalan posko-posko darurat. Jika perahu relawan tiba, warga langsung mengerumuninya. Potret ini sudah jamak terjadi sepekan belakangan.
“Alhamdulillah, meski begitu sampai hari ini banjir di tempat kami belum memakan korban jiwa,” ujar Arsnayan.
bakabar.com mencoba mengonfirmasi Sekretaris Daerah Kabupaten Banjar, M Ilman, ihwal langkah strategis Pemkab menanggulangi kekurangan stok pangan di kawasan terisolir akibat banjir, seperti Sungai Tabuk. Namun sampai berita ini selesai diketik belum ada tanggapan dari Ilman.