bakabar.com, BANJARBARU - Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Hari ini, Selasa (2/4), Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan Hidup Walhi Indonesia Eksekutif Nasional mengajukan permohonan kasasi terhadap penolakan banding tertanggal 14 Maret 2019 itu. Sebelumnya, pemberitahuan penolakan banding diterima pada Rabu, 20 Maret 2019.
Pada pengadilan tingkat pertama, PTUN memutuskan menolak gugatan Walhi terhadap Menteri ESDM dan PT MCM atas terbitnya Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B PT MCM menjadi Operasi Produksi di Kabupaten Balangan, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua, Sutiyono dan Hakim Anggota Joko Setiono dan Nasrifal, memutuskan gugatan Walhi tidak diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Luasan izin tambang batubara ini seluas 1.398,78 hektare dan berada di hutan sekunder, pemukiman 51,60 hektare, sawah 147,40 hektare, dan sungai 63,12 hektare. Ia berada di hamparan Pegunungan Meratus.
Di Kalsel sendiri, dari catatan Walhi, MCM menguasai lahan seluas 5.900 hektare. Khusus di HST, izin berada tak jauh dari Bendung Batang Alai. “Dan akan melenyapkan hutan dan gunung kapur di Nateh, menghilangkan Desa Batu Tangga dan desa lainnya,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyo dalam siaran persnya.
Proses gugatan Walhi di pengadilan berlangsung sejak 28 Februari 2018. Walhi Kalsel dan Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) beserta Pemkab HST mengajukan gugatan terhadap izin itu di Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta.
Lalu pada 4 April 2018 - 22 Oktober 2018, sidang digelar. Termasuk sidang di tempat (di Desa Nateh di Kabupaten Hulu Sungai Tengah) pada pada Juli 2018.
Anehnya, kata Kis, pada 22 Oktober 2018, PTUN mengeluarkan keputusan yang menyatakan gugatan terhadap izin pertambangan batubara itu tak bisa diterima karena salah alamat.
Lalu pada 2 November 2018 Walhi mengajukan banding. Selama empat bulan proses banding berlangsung. Pada 14 Maret 2019 PTTUN Jakarta menguatkan putusan PTUN dengan menolak banding yang Walhi ajukan.
Sebelum keputusan yang menolak permohonan banding Walhi terjadi, berbagai upaya sudah dilakukan berbagai elemen masyarakat Kalsel untuk menyelamatkan Meratus.
Misal, Gerakan #SaveMeratus pada Minggu, 17 Maret 2019. Mereka yang tergabung dalam gerakan menulis surat secara serentak kepada Presiden. Isinya untuk ikut bersikap tegas dan terlibat dalam penyelematan Pegunungan Meratus.
Lebih dari 1000 surat meminta Presiden turun tangan dan ikut menyelamatkan Pegunungan Meratus yang Jumat (21/3) lalu dibawa ke Jakarta dan langsung diserahkan Direktur Eksekutif Walhi Kalsel kepada Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati atau biasa disapa Yaya.
Turut mendampingi Kisworo, Rumli dari Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) dan Direktur Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Rafiqah. Selanjutnya surat-surat itu akan diserahkan Yaya ke Kantor Staf Presiden (KSP) yang selanjutnya akan menyampaikannya kepada Presiden. Yaya akan menyerahkan surat-surat itu usai Konsolidasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) Walhi yang berakhir pada 27 Maret 2019.
Penyerahan surat-surat yang ditulis masyarakat dari berbagai daerah ke KSP rencananya akan dilakukan bersamaan dengan penyampaian kasasi di Mahkamah Agung di Jakarta.
“Dua keputusan itu sangat mengecewakan. Kasasi pada hari ini, Walhi meminta masyarakat Kalsel terus merapatkan barisan dengan mendukung gerakan #SaveMeratus. Penolakan banding itu kian membuat Meratus dalam kondisi berbahaya," katanya.
Reporter: Zepy Al Ayubi
Editor: Fariz Fadhillah