Dengan menggunakan pemodelan statistik, para peneliti juga membuat perkiraan kematian dan penyakit yang disebabkan oleh AMR pada tahun 2050 dalam tiga skenario.
Pertama, jika krisis iklim saat ini terus berlanjut.
Kedua, jika obat antibiotik baru yang ampuh dikembangkan untuk menargetkan patogen yang kebal.
Ketiga, jika dunia telah meningkatkan kualitas layanan kesehatan untuk infeksi dan akses yang lebih baik terhadap antibiotik.
Para peneliti memperkirakan kematian akibat resistensi antimikroba akan meningkat pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan untuk meningkatkan akses terhadap perawatan yang berkualitas, antibiotik yang ampuh, dan sumber daya lainnya untuk mengurangi dan mengobat infeksi.
Para peneliti memperkirakan 1,9 juta kematian secara global akibat resistensi antimikroba, dan 8,2 juta kematian yang terkait dengan resistensi antimikroba.
Merujuk data penelitian, wilayah yang paling terdampak oleh AMR, adalah Asia Selatan, Amerika Latin dan Karibia, serta sub-Sahara Afrika. Pasalnya, menurut Murray, banyak dari wilayah ini tidak memiliki akses yang adil terhadap perawatan yang berkualitas.
"Sayangnya, masih ada banyak tempat di daerah dengan sumber daya rendah di mana orang-orang yang membutuhkan antibiotik tidak mendapatkannya, dan itu adalah bagian besar dari masalah ini. Tetapi bukan hanya antibiotik. Ketika Anda sakit, baik saat masih kecil atau dewasa, dan Anda dikirim ke rumah sakit, dan Anda mendapatkan paket perawatan, pada dasarnya, yang mencakup hal-hal seperti oksigen," kata Murray.
"Di negara dengan sumber daya yang terbatas, bahkan hal mendasar seperti oksigen sering kali tidak tersedia. Dan kemudian, jika Anda sakit parah dan membutuhkan unit perawatan intensif, ada sebagian besar negara dengan sumber daya yang rendah - sebagian besar, sebenarnya - di mana Anda tidak akan mendapatkan akses ke perawatan semacam itu," katanya.
"Jadi ada spektrum perawatan suportif, ditambah dengan antibiotik, yang benar-benar membuat perbedaan."
Namun, para peneliti mengatakan, dalam skenario saat dunia memiliki perawatan kesehatan yang lebih baik, 92 juta kematian kumulatif dapat dicegah antara tahun 2025 dan 2050.
Sementara, dalam skenario ketika dunia memiliki obat baru yang lebih manjur, sekitar 11 juta kematian dapat dihindari.
Samuel Kariuki, peneliti dari Kenya Medical Research Institute, dalam sebuah komentar terkait penelitian tersebut mengatakan bahwa pendekatan "inovatif dan kolaboratif" terhadap studi ini bisa memberikan "penelitian komprehensif" terhadap resistensi antimikroba.
Namun dia memperingatkan bahwa model perkiraan tidak mempertimbangkan kemunculan superbug baru "dan dapat menyebabkan kesalahan perkiraan jika patogen baru muncul."
"Secara keseluruhan, data ini harus mendorong investasi dan tindakan yang ditargetkan untuk mengatasi tantangan resistensi antimikroba yang terus meningkat di seluruh dunia," ujar Kariuki.