Kalsel

Bak Kacang Lupa Kulit Jaksa Kasus Pemerkosaan Mahasiswi ULM

apahabar.com, BANJARMASIN – Sekalipun Bripka Bayu Tamtomo (34) sudah dipecat, bukan berarti sengkarut penanganan kasus pemerkosaan…

Featured-Image
VDPS (kanan) sempat diminta oleh seorang jaksa untuk tidak melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya ke kampus. Kiri, Bripka Bayu usai mengikuti prosesi pemecatan tidak hormat di Polresta Banjarmasin. Foto-Istimewa

Bripka Bayu divonis pada 11 Januari. Namun permohonan banding dimasukkan Jaksa Seliya pada 25 Januari atau tepat di hari terakhir masa banding berlaku. Sikap Jaksa yang dinilai tak berorientasi kepada VDPS disesalkan banyak pihak. Termasuk sejumlah dosen di ULM.

Seorang dosen dari Departemen Pidana, Fakultas Hukum ULM menyebut para jaksa itu bak kacang lupa kulit. AF disebut-sebut alumnus FH ULM.

“Dia itu [AF] angkatan 1995,” ujar salah seorang dosen senior FH ULM kepada bakabar.com, Minggu (30/1) malam.

“JPU ini ‘kan alumnus FH. [Kami] ibarat orang tua yang melahirkan. Datang meminta keadilan, tapi dia tidak bergeming untuk banding,” sambung doktor ilmu hukum itu.

"Ini yang sebenarnya yang disebut almamater memanggil, namun dilupakan."

Salah seorang dosen FH lain menimpali, “bahwa kedua jaksa yang menangani kasus VDPS mesti sekolah hukum lagi.”

“Karena ini, menyangkut urusan kemanusiaan. Kami siap mogok sebagai saksi ahli bagi jaksa dan polisi sebagai bentuk keprihatinan atas kasus ini,” ujar dosen muda satu ini.

Lantas, apa langkah hukum yang bisa dilakukan jaksa untuk memperberat hukuman Bripka Bayu?

Pengacara VDPS tengah mendesak jaksa mengambil langkah peninjauan kembali (PK). Namun, PK hanya bisa dilakukan andai putusan hakim tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

“Banding yang telat kemarin itu kan ada catatan dan diterima panitera. Apakah banding diterima atau ditolak karena sudah lewat waktu, tapi tergantung hakim pengadilan tinggi lagi,” ujar dosen tersebut.

Kasus pemerkosaan VDPS menjadi isu hangat hingga DPR RI. Terkait dugaan intimidasi jaksa ke korban, Gusti Khairul Saleh ikut menaruh perhatian.

Pada 3 Februari nanti, jajaran Komisi III DPR RI akan melakukan kunjungan spesifik ke Kejati dan Polda Kalsel.

“Saya akan memimpin langsung. Tanggal 3 akan kita buka semuanya,” ujar pria bergelar Sultan Haji Al-Mu’tashim Billah ini, dihubungi terpisah, Minggu sore (30/1).

Selesai carut-marutnya persoalan banding, desakan agar hakim menambah hukuman ke Bripka Bayu masih mencuat.

Kini, alasan hakim yang dipersoalkan. Hakim meringankan hukuman Bayu karena ia tulang punggung keluarga. Dan adanya surat perdamaian. Kedua alasan itu dinilai tak masuk akal.

“Harusnya hukuman diperberat 1/3 dari hukuman maksimum, bukan diringankan. Dia aparat penegak hukum. Harusnya melindungi, bukan menyakiti,” ujar Pazri.

Soal surat perdamaian, Pazri menjelaskan jika VDPS sepakat memberi maaf. Namun itu ditujukan ke istri atau keluarga bukan ke Bripka Bayu.

"Terkait Surat Kesepakatan Damai juga tidak ditandatangani korban karena ada klausul pencabutan perkara,” jelas Pazri.

Alasan hukuman maksimum lainnya, Bripka Bayu sendiri diduga sudah berpengalaman.

Pada Sidang Kode Etik di Polda Kalsel, terungkap ia mengakui pernah berbuat serupa pada seorang wanita di Palangka Raya. Bripka Bayu juga memiliki KTP ganda. Yang salah satunya digunakan untuk check in room hotel. “Bukan atas namanya,” ujar Pazri.

Lantas soal PK yang hanya bisa dilakukan jika putusan hakim tidak diikuti oleh suatu pemidanaan, Pazri tetap optimis.

“Biar saja sebagai terobosan hukum untuk PK tersebut. Terlebih ada UU kejaksaan terbaru,” ujar doktor ilmu hukum jebolan Universitas Sultan Agung ini.

Tak hanya intimidasi jaksa, polisi dan diskriminatifnya pengadilan terhadap VDPS, sampai kini VDPS juga belum menerima hasil uji lab atas urine dan darahnya.

Jika benar yang ditenggak VDPS seperti dugaan publik; narkoba, Bripka Bayu jelas terancam pidana baru.

Ahli kimia dari Universitas Lambung Mangkurat, Prof Muthia Elma ragu jika Kratingdaeng yang ditenggak VDPS hanya dicampur miras anggur merah.

“Ah gak mungkin itu anggur merah,” ujar Muthia.

Muthia meminta para pihak berwenang memperhatikan dampak terusan dari Kratingdaeng oplosan itu.

“Itu akan lebih berbahaya jika ada efek kecanduan,” ujar Muthia, Rabu 26 Januari.

Lantas bagaimana kondisi terkini VDPS? VDPS, kata Pazri, masih traumatis. Keluarganya tak henti-henti kuatir.

“Kemarin sore dia tidur. Tiba-tiba menangis histeris. Kami bingung, kami bangunkan tapi tidak bangun. Jadi kita awasi terus sampai berhenti menangis, kami juga kaget melihat statusnya terakhir (VDPS berniat mengakhiri hidup),” ujar Pazri mengutip laporan terakhir advokat Borneo Law Firm lain yang kerap mendampingi VDPS.

Setelah pemerkosaan itu, VDPS trauma. Dokter psikolog mengharuskannya meminum obat dari hasil pengobatan yang hanya tiga kali ditanggung pemerintah.

Apabila tidak meminum obat tersebut sebelum tidur, VDPS sering mengigau. Dia kerap berteriak-teriak sambil menangis terisak. Hingga saat ini VDPS masih dalam pengobatan rawat jalan pihak RS Anshari Saleh, Banjarmasin.

Pazri berharap Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, maupun Kompolnas segera turun tangan mengusut tuntas semua dugaan penyimpangan selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus VDPS.

“Pengusutan sebagai ungkapan keprihatinan kepada korban. Lihat saja jejak digital kasusnya. Ini bukan hanya soal hukum tapi juga soal moral, kredibilitas dan integritas. Kejahatan yang dilakukan terdakwa telah menimbulkan trauma seumur hidup kepada korban,” pungkas Pazri.

Komentar
Banner
Banner