Jika Amerika Tengah dan Selatan memiliki rodeo, Ulu Benteng di Kecamatan Marabahan, Kabupaten Batola, punya tradisi menunggangi naga. Tujuannya pun sama-sama menguji ketangguhan seorang pria.
Bastian Alkaf, MARABAHAN
Rodeo sudah dianggap sebagai olahraga ketangkasan menunggangi binatang. Biasanya binatang yang ditunggangi adalah sapi, banteng dan kuda.
Sementara di Ulu Benteng, binatang yang ditunggangi lebih sangar. Karena berbentuk naga! Dalam banyak mitologi, naga digambarkan berbentuk ular besar dengan mahkota di kepala.
Memang naga dimaksud tidak dalam bentuk nyata, melainkan hanya berupa rekaan. Namun itulah cara orang-orang Dayak Bakumpai di Ulu Benteng, Kecamatan Marabahan, melestarikan kebudayaan mereka menunggangi naga melalui baarak naga.
Baca Juga: Makin Bersinar, Gimar Kebanjiran Order Manggung
Naga dalam budaya Dayak diasumsikan sebagai simbol dunia bawah yang hidup di dalam air. Seiring kepercayaan terhadap dwitunggal semesta, dunia atas dikuasai sosok yang disimbolkan burung enggang gading. Sedangkan manusia hidup di sela-sela dwitunggal semesta itu.
Pun tradisi bararak naga sudah berlangsung selama ratusan tahun di Ulu Benteng. Naga tersebut terdiri dari rangkaian bambu, galam dan karpet yang dibentuk sedemikian rupa, lengkap dengan kepala dan atribut lain.
Berbeda dengan rodeo, tidak sembarang waktu dan orang menjalani ritual bararak naga. Ritual ini termasuk dalam rangkaian resepsi perkawinan warga Ulu Benteng.
Pun hanya mempelai pria yang wajib menaiki naga tersebut menuju rumah mempelai wanita, seandainya rumah mereka masih satu RT.
Namun kalau mempelai wanita bukan warga Ulu Benteng dan resepsi berlangsung di rumah mempelai pria, start bararak naga dilakukan beberapa meter dari tempat acara. Demikian pula sebaliknya.
Sementara andai resepsi dilangsungkan berbarengan di rumah kedua mempelai dan berjarak cukup jauh, naga lengkap dibawa menggunakan mobil atau kelotok.
“Selain diiringi warga sekitar, bararak naga ditimpali hadrah dan kuntau. Biasanya ritual ini berlangsung selepas salat zuhur,” jelas Ahmad Mubarak, Sekretaris Lembaga Masyarakat Dayak Bakumpai.
Selama diarak di atas naga, mempelai pria tidak dapat duduk manis. Sama seperti rodeo, ia harus merasakan terguncang-guncang di atas naga. Itu bukan hukuman, karena guncangan tersebut termasuk ritual bararak naga.
Andai tidak erat berpegangan, mempelai pria bisa saja harus menerima nasib jatuh terpental dari naga. Itu belum termasuk pantat dan pinggang yang pegal.
Setelah turun dari naga, mempelai pria diusung menuju tempat acara. Namun tidak langsung bertemu mempelai wanita, karena ia diharuskan menunggu di luar area yang ditandai dengan tali pembatas.
Lantas seorang perwakilan mempelai pria, mesti ‘bertarung’ dengan penjaga mempelai wanita yang menjaga garis pembatas.
Ditandai dengan keberhasilan perwakilan mempelai pria memutuskan tali pembatas, mempelai wanita datang sembari diusung. Selanjutnya mereka diusung bersama-sama menuju kursi pelaminan.
“Sebenarnya tidak semua warga Ulu Benteng menyelenggarakan bararak naga, karena tergantung keinginan masing-masing untuk melestarikan tradisi,” beber Mubarak.
“Tetapi kalau datu nenek mereka pernah menyelenggarakan bararak naga, tradisi itu harus dilanjutkan,” tandasnya.
Baca Juga: Bersihkan Sungai, Operasional Kapal Sapu Sapu Capai Ratusan Juta
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin