bakabar.com, JAKARTA – Kawasan Industrial Park Indonesia (KIPI) di Kalimantan Utara (Kaltara) yang baru saja diresmikan peletakan batu pertama pembangunannya (groundbreaking), Selasa (21/12).
Namun ternyata, sebelum proses itu berlangsung, pengembangan KIPI di Kabupaten Bulungan, Kaltara itu, cukup alot menurut menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
“Saya masih ingat tahun 2015 mengenai rencana pengembangan kawasan industri di wilayah ini. Namun sampai 2018 saya melihat tidak ada pengembangan yang signifikan. Hanya perpanjang izin saja dari tahun ke tahun,” katanya dia seperti dilansir Antara, Selasa (21/12).
Menurut Luhut, masalah yang dihadapi di kawasan industri hijau itu bak ayam dan telur (mana lebih dulu) yang tidak kunjung usai.
Pasalnya, investor hanya bersedia masuk jika PLTA sudah dibangun. Di sisi lain, investor PLTA hanya mau membangun jika ada kepastian off taker (pembeli) listriknya.
“Ini terus berputar-putar jadi pembangunannya tidak maju-maju,” katanya.
Luhut menyebut dibutuhkan keberanian, kemampuan eksekusi yang baik serta kekuatan finansial yang besar untuk merealisasikan proyek PLTA dan kawasan industri di wilayah tersebut.
“Lebih dari itu adalah keputusan politik dari Presiden untuk memberikan dukungan sepenuhnya untuk proyek ini,” katanya.
Mantan Menko Polhukam itu menjelaskan dibutuhkan investasi setidaknya 13 miliar dolar AS untuk pengembangan kawasan industri hijau yang diklaim paling besar sedunia itu.
Kebutuhan investasi itu terdiri dari sekitar 10-12 miliar dolar AS untuk pembangunan PLTA dan sekitar 1 miliar dolar AS untuk pengembangan pelabuhan.
“Pelabuhan harus dibangun menjorok ke tengah laut karena kedalaman yang dangkal di sisi pantai dan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, paling tidak hampir 1 miliar dolar AS untuk pengembangan pelabuhan saja,” ungkapnya.
Pada 2019, lanjut Luhut, pemerintah mulai melakukan penjajakan serius dalam pengembangan kawasan tersebut.
Pemerintah menggelar roadshow ke banyak negara untuk mempromosikan peluang investasi di kawasan tersebut.
Roadshow digelar diantaranya ke AS, Uni Eropa, Uni Emirat Arab hingga ke China.
Pada awalnya, sambutan para investor masih biasa saja, sampai menjelang akhir 2019, beberapa investor mulai merespon dengan sangat serius.
Mereka bersedia membangun industrinya terlebih dahulu, membangun solar panel dan membangun PLTU yang akan digunakan dalam 10-15 tahun ke depan selama periode transisi pembangunan PLTA.
“Ada 10 investor besar dari Tiongkok yang bersama kita hari ini. Mereka adalah investor yang sudah terbukti memiliki track record investasi yang sangat baik dan telah menanamkan puluhan miliar dolar untuk lakukan hilirisasi nikel di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir,” jelasnya.
Kemudian, pada Juli 2021, minat investasi ke kawasan tersebut pun kembali datang bertubi-tubi.
Bersama dengan pemilik lahan, yakni pengusaha nasional Boy Thohir, pemerintah pun melakukan negosiasi dengan banyak investor.
Namun, ternyata jumlah permintaan energi yang diminta investor berada di atas suplai hydropower dan solar panel yang dibangun.
“Saya sampaikan ke Pak Presiden, inilah good problem to have. Karena kita bisa memilih industri apa saja yang bisa kita akomodasi untuk berikan manfaat yang terbaik buat Indonesia,” katanya.
Setelah melakukan kajian, pemerintah memastikan dua kriteria industri yang akan diakomodasi di kawasan industri hijau tersebut adalah industri yang bisa memberikan nilai tambah serta industri yang bisa menempatkan Indonesia pada posisi kunci dalam pemanfaatan teknologi di masa depan.
“Sehingga kita betul-betul nanti jadi penjuru dalam banyak high-tech. Kami menyebutnya future industry,” katanya.