Tak Berkategori

Alasan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kalsel Masih yang Terburuk

apahabar.com, BANJARMASIN – Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah berlaku mulai Oktober 2016. Seiring hal tersebut, pemerintah…

Featured-Image
Tambang batu bara di Kecamatan Barito Tengah, Kapuas, Kalimantan Tengah. Foto: MI/Gino F. Hadi

bakabar.com, BANJARMASIN - Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah berlaku mulai Oktober 2016.

Seiring hal tersebut, pemerintah provinsi mengambil-alih Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari tangan pemerintah kabupaten.

Alih-alih begitu, perpindahan kewenangan pengelolaan tambang masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah provinsi.

Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Kalsel belum beranjak dari yang terburuk se-regional Kalimantan. Dari 34 provinsi di tanah air, Kalsel menempati peringkat ke-26.

Dinas ESDM Kalsel mencatat, sampai kini ada 236 perusahaan tambang batu bara yang boleh mengeruk isi perut bumi Banua.

Menurut mereka, permasalahannya sekarang, dari jumlah itu baru dua perusahaan yang mencairkan jaminan reklamasi (Jamrek) hingga pengelolaan pasca-tambang, yakni PT Tunas Inti Abadi (TIA) dan PT Kintap Bukit Mulia (KBM).

“Pencairan Jamrek itukan tidak bisa dilaksanakan tanpa pengetahuan kepala dinas ESDM dan pemilik perusahaan. Jadi kalau ada pencairan kepala dinas pasti tahu. Kepala dinas tidak bisa mencairkan Jamrek tanpa sepengetahuan perusahaan, begitu pula sebaliknya. Jadi uang Jamrek tambang aman,” kata Kepala Bidang Mineral dan Batub Bara Dinas ESDM Kalsel, Gunawan Harjito, kepada bakabar.com, Jumat sore.

Lalu apa hubungannya reklamasi tambang dengan IKLH Kalsel? Tentu saja ada. Penilaian IKLH dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu Indeks Kualitas Air (IKA), Indeks Kualitas Udara (IKU) dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL).

Dari 236 perusahaan tambang baru dua perusahaan yang sudah mereklamasi, lantas bagaimana sisanya?

Masih rendahnya IKLH, Dinas ESDM Kalsel tengah mengupayakan sesegera mungkin mendesak perusahaan-perusahaan tambang mereklamasi dan me-revegetasi lahan pascapengupasan tambang batu bara.

“Kalau kami (Dinas ESDM Kalsel) lalai sih enggak juga, awal 2017 kewenangan baru ada pada kami, awal pertama kita itu-kan melakukan penataan,” timpal Gunawan.

Selain menata, langkah pertama adalah mencabut izin perusahaan yang sudah habis IUP-nya.

“Akan kita kejar-kejar reklamasi tambang, revegetasi hingga pascatambang,” tuturnya.

Di Kalsel, pada 2018 sebanyak 52 perusahaan tambang di Kalsel terjangkit 'lupa' perihal kewajiban menyetorkan dana jaminan pascatambang. Sedangkan, pada 2019 ini, jumlahnya menyusut menjadi 49 perusahaan.

Dari jumlah tadi, Pemprov belum berhasil menagih Rp145 miliar jaminan reklamasi, dan jaminan pascatambang sekitar 3.000 USD.

Mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan pascatambang, Undang-Undang Minerba nomor 4 Tahun 2009 sudah mengamanatkan perusahaan wajib mereklamasi. Jika membandel, kegiatan tambang mereka bisa saja tak dilayani, dikurangi, bahkan dihentikan.

Penelusuran bakabar.com, rata-rata perusahaan tambang yang menunggak pembayaran telah berstatus CnC.

Lainnya lagi, meminjam catatan BPK RI, mengaku belum melaksanakan operasi produksi. Sementara, catatan ESDM Kalsel, ada juga kabur karena IUP telah habis.

Sadar tak bisa berjalan sendiri, Dinas ESDM Kalsel juga meminta peran aktif dari masyarakat membantu memperbaiki IKLH daerah.

Salah satu yang paling mudah adalah peningkatan IKA. Dibutuhkan partisipasi seluruh masyarakat agar tidak membuang limbah industri ke sungai.

Terpisah, memburuknya kualitas lingkungan hidup di Kalsel akibat tambang turut diamini Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono.

Kis menilai Kalsel sudah darurat ruang dan bencana ekologis. Banjir yang melanda Tanah Bumbu (Tanbu) dan Kotabaru jadi salah satu indikatornya. Banjir ditengarai bukan hanya faktor cuaca ekstrem, melainkan degradasi lingkungan akibat tambang batu bara.

"Daya tampung lingkungan sudah ada yang rusak," ujar Kis kepada bakabar.com.

Dirinya mendesak, pemerintah segera mengevaluasi izin industri ekstraktif tersebut.

Di Tanbu, meminjam catatan Walhi, 79 persen wilayahnya sudah dibebani izin tambang (63%) dan Sawit (16 %).

Sementara, untuk Kalsel, dari 3,7 juta hektar total luas lahan, nyaris 50 persen di antaranya sudah dikuasai oleh perizinan tambang dan kelapa sawit.

Dirinya juga mendesak pemerintah menindak tegas pelanggar lingkungan, untuk mengurai permasalahan kejahatan tambang, termasuk terkait reklamasi.

"Kami mendesak pemerintah pusat dan daerah membentuk Komisi Khusus Kejahatan Tambang, dan Pengadilan Lingkungan," jelas Kis.

Kemudian, juga mengaudit lingkungan dan mencabut izin-izin tambang yang nakal, maupun izin tambang yang masih belum beroperasi.

"Pemerintah segera rehabilitasi tutupan hutan dan lahan yang rusak. Dan lakukan perbaikan pemulihan fungsi sungai dan drainase dari hulu sampai hilir," jelas dia.

Baca Juga:Kinerja Komoditas Batu Bara-CPO Menyedihkan

Baca Juga:2 Tambang Batu Bara RI Masuk 10 Besar Dunia, Salah Satunya di Kalsel

Reporter: Rizal Khalqi
Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner