bakabar.com, BANJARMASIN – Mengadopsi konsep kota Venesia di Italia menjadi salah satu cita-cita yang ingin diwujudukan di Banjarmasin. Apakah ide tersebut cocok diterapkan?
Mengatasi banjir terulang, sejumlah upaya dilakukan Pemerintah Pusat. Salah satunya melalui pinjaman hibah luar negeri dari World Bank.
Banjarmasin menjadi satu dari enam daerah yang kecipratan proyek National Urban Flood Resilience Project (NUFReP) tersebut.
Proyek NUFReP merupakan garapan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, serta didampingi Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Adapun total anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp6 triliun atau Rp1 triliun untuk masing-masing daerah. Program ini dicanangkan dalam rentang 2023 hingga 2027.
Khusus di Banjarmasin, terdapat 10 program jangka pendek, menengah dan panjang. Dimulai dari normalisasi dan penataan Sungai Veteran sepanjang 3,5 kilometer, lalu Sungai Sutoyo S (Teluk Dalam) sepanjang 3,5 kilometer.
Kemudian Sungai A Yani dan Sungai Guring di wilayah Sungai Pekapuran masing-masing sepanjang 3,2 kilometer dan 3,8 kilometer Sungai Guring.
Dengan anggaran besar, lantas tercetus ide mengadopsi konsep kota Venesia di Italia. Sebagaimana diketahui kawasan seluas 412 kilometer persegi ini terkenal sebagai kota kanal termasyhur di dunia.
Namun demikian, sejumlah ahli konstruksi di Kalimantan Selatan, termasuk Subhan Syarief menyebut kondisi geografis Banjarmasin dan Venesia jauh berbeda.
Venesia adalah kota berbasis laut. Sedangkan Banjarmasin dikelilingi dan dibelah sungai-sungai kecil, serta bertanah rawa.
“Sebenarnya sah-sah saja ingin mengadopsi Venesia. Namun pemerintah mesti cermat dan realistis, mengingat Venesia dan Banjarmasin berbeda,” papar Subhan Syarief kepada bakabar.com, Kamis (10/3).
“Mungkin model pengelolaan dan pemanfaatan sungai yang saling terhubung seperti di Venesia masih mungkin diikuti. Tapi kalau etalase fisik, sulit untuk menjadikan Banjarmasin seperti Venesia,” tambahnya.
Selain geografis yang berbeda, Banjarmasin dan Venesia juga dibedakan kondisi kejernihan air. Begitu pun dengan kondisi bangunan di tepi sungai.
“Mungkin semuanya dapat dilakukan, seandainya finansial Banjarmasin tidak terbatas,” tegas Subhan Syarief.
Mengembalikan Jati Diri
Dengan berbagai perbedaan tersebut, Subhan Syarief berharap Pemko Banjarmasin tidak usah muluk-muluk, ketika dana tersebut mulai digelontorkan.
“Justru akan lebih baik mengembalikan jati diri Banjarmasin yang khas dengan kota sungai dan rawa. Artinya pembangunan kota semestinya mengikuti jati diri lingkungan asli,” usul Subhan.
Sebaliknya pola yang digunakan sekarang justru banyak mengubah kondisi geografis asli (rawa) menjadi daratan (teruruk). Hal ini yang menjadi dasar penyebab masalah keseimbangan lingkungan Banjarmasin.
“Dahulu Banjarmasin lebih imun dan mudah menyesuaikan diri, ketika air pasang sehingga tak banyak membuat masalah,” beber Subhan.
“Itu karena area resapan dan sungai-sungai mulai yang besar, menengah hinggga kecil, saling terkoneksi dengan baik sampai kemudian terhubung ke laut,” imbuhnya.
Sementara sekarang area resapan dan sungai sudah banyak yang mati, karena tergerus pembangunan infrastruktur model menguruk.
Akibatnya air kesulitan mengalir maupun ditarik ke arah sungai besar yang berujung ke laut.
“Masalah semakin kompleks, ketika pengaruh pemanasan global menyebabkan muka air laut menaik dan memaksa air sungai pun turut naik,” urai Subhan.
“Kondisi semakin parah ketika musim hujan dan air laut pasang datang berbarengan. Air hujan tak bisa turun ke sungai atau ke area resapan, karena sudah tertahan permukaan air sungai,” sambungnya.
Berkaca dari fakta, Banjarmasin mesti memfokuskan penanggulangan melalui pengerukan dan pelebaran sungai, serta menormalisasi dan optimalisasi sungai mati.
“Juga dibarengi dengan memperbanyak area area resapan, polder, membuat kanalisasi yang menggunakan pintu air, termasuk pengunaan sistem pompanisasi,” jelas Subhan.
Kemudian pembangunan infrastruktur kota diusahakan bermodel panggung. Ketinggian lantai bangunan sebaiknya diatur minimal mencapai 2 meter dari muka air pasang tertinggi.
“Intinya ketimbang mengkhayal terlalu muluk, sebaiknya sumber dana yang tersedia digunakan untuk menata Banjarmasin menjadi bebas air limpahan atau air pasang yang dipastikan setiap tahun semakin menaik,” tegas Subhan.
“Lebih baik mendahulukan keamanan dan kenyamanan menghuni kota, dibandingkan keindahan tampilan fisik yang ternyata tak mampu memberikan keamanan dan kenyamanan,” tandasnya.