bakabar.com, BARABAI – Sepanjang 2021, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sudah 5 kali dilanda banjir.
Medio Januari lalu, pemerintahan HST sampai lumpuh berhari-hari. Bahkan November tadi sudah 4 kali HST diterjang air bah.
Banjir menimbulkan dampak yang luar biasa bagi HST. Sarana dan prasarana, seperti jalan, jembatan bahkan bangunan di kabupaten yang berjuluk Bumi Murakata rusak parah.
Tak terkecuali sungai-sungai yang makin dangkal dan tebing-tebing di Pegunungan Meratus yang longsor berkali-kali.
Aktivis lingkungan hidup, Berry Nahdian Forqan angkat bicara soal penanganan banjir yang melanda HST.
Dia menilai banjir terus terulang karena beberapa faktor. Karena itu, wakil Bupati HST periode 2019-2021 ini berharap pemerintah daerah bisa lebih jeli membaca kondisi alam.
Pertama, kata Berry, kondisi tutupan hutan di hulu sepanjang sungai-sungai yang melewati dan menuju kota Barabai sebagian besar sudah gundul akibat akumulasi berbagai aktivitas logging maupun pembukaan lahan di daerah yang punya kemiringan curam.
“Semakin diperparah setelah terdapat tebing-tebing longsor akibat banjir terdahulu dan pendangkalan sungai,” kata Berry, Kamis (9/12).
Karena itu, Berry berharap pemerintah segera melakukan dan menyelesaikan sodetan sungai yang sudah dikerjakan dan melakukan normalisasi-pengerukan sungai.
Tak hanya di hulu, Berry juga menyoroti bagian hilirnya. Dia menilai pada bagian hilir, rawa sebagai resapan air mengalami perubahan fungsi.
“Hal ini menjadikan rawa tidak mampu lagi menampung dan menyerap air,” terang Berry.
Tak hanya soal bagian hulu dan hilir, kata Berry, mitigasi juga perlu dilakukan dalam tata kota di HST. Terutama desain pembangunan kota dan kawasan resapan air.
“Misal, pada Jalan Lingkar Walangsi. Cenderung menjadi penghambat lajunya aliran air sehingga dampaknya kota semakin lama terendam. Maka perlu teknik pembangunan dengan menguruk tanah di daerah resapan,” kata Berry.
Ke depan, lanjut Berry, selain solusi perbaikan tata lingkungan dan mengembalikan tutupan hutan juga bisa melakukan rekayasa lingkungan.
Ini perlu dilakukan dengan cermat, misalnya dengan pembuatan embung. “Paradigma banjir mesti dilawan juga harus diubah. Warga HST mesti mampu “berkawan” dengan bencana agar dapat terhindar dari dampak buruknya,” ujarnya.
Menurutnya, sudah saatnya warga membangun pengetahuan dan kesadaran manajemen pengelolaan bencana di samping pemerintah daerah mesti punya early warning system dan manajemen penanggulangan yang terpadu dan terintegrasi dengan masyarakat.
Lebih jauh, Berry memandang APBD HST perlu diprioritaskan untuk penanganan bencana banjir.
“Ini sudah sangat urgen dan mendesak. Mengingat jika tidak dilakukan maka potensi banjir akan terus terjadi dan sangat merugikan warga,” tutup Berry.
Tanggap Darurat Dicabut
Senin, 6 Desember lalu, tanggap darurat telah dicabut Pemkab HST.
“Ini dilanjutkan pasca bencana atau pemulihan pasca banjir,” kata Pj Sekda HST, M Yani.
Yani mengakui banyak ‘PR’ yang harus dilakukan. Bukan hanya pasca tetapi juga penanganan banjir berdasar hasil kaji cepat dan evaluasi.
“Kita perlu refocusing cermat dan lebih tajam untuk mengatasi banjir ini,” kata Yani.
Saat ini, Yani bilang fokus Pemkab HST adalah pada faktor penyebab banjir yang terjadi. Misal, normalisasi sungai.
“Kanal banjir diperlebar. Dananya menggunakan APBD untuk ganti rugi tanah. Untuk pengerjaannya, dapat bantuan dari pusat dalam hal ini BWS. Termasuk normalisasi Sungai Barabai,” kata Yani.
Soal EWS, kata Yani, Pemkab dibantu oleh Walhi. Telah ada ada 5-6 titik dan disatukan dengan Orari menggunakan Repeater. Pemkab HST juga akan menambah perahu karet dan stok logistik.
“Memanajemen stok non beras menjadi tantangan kita. Kita antisipasi dengan Cash Flow. Ada dana cadangan Rp150 juta di Dinsos dan bisa digunakan setiap saat ketika tanggap darurat. Kita kewalahan saat Januari lalu dalam hal ini,” terang Yani.