bakabar.com, BANJARMASIN – Memasuki era Orde baru, kondisi ekonomi Banjarmasin bisa dibilang sedang memasuki masa yang sangat menyedihkan. Cukup mudah menemui orang mengantre beras, gula ataupun minyak tanah. Inflasi pasca 1965 itu mencapai 600 persen.
“Hal ini dilatarbelakangi perekonomian di Banjarmasin saat itu sangat menyedihkan,” ucap Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur kepada bakabar.com.
Mengutip kata Yusriansyah Aziz Eskponen 66, Mansyur mengemukakan demonstrasi pemuda dan mahasiswa di Banjarmasin dalam rangkaian aksi tiga tuntutan rakyat atau Tritura. Aksi ini digelar sebulan. Atau setelah aksi serupa di Jakarta pada Januari 1966. Inilah demonstrasi terbesar di Banua yang terjadi pada rezim orde lama, masa Presiden Soekarno.
Beberapa tokoh yang menjadi penggerak demonstrasi adalah Ketua Periodek KAMI Abi Karsa, Ketua Presidium KAMI AS Musaffa, Gusti Rusdi Effendi, Yusriansyah Aziz, Djok Mentaya, Anang Adenansi, Zainuddin Rais, Djohar Hamid, serta wartawan harian Mimbar Mahasiswa serta HM Husni Thamrin. Total, ada sekitar 16 organisasi kemahasiswaan. Pelajar dan kemasyarakatan juga ikut, terkecuali Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Serta beberapa organisasi lainnya.
Secara umum, kata Yusriansyah Aziz dari Eskponen 66, ada 3 tuntutan yang diperjuangkan. Pertama, turunkan harga barang; Kedua, bubarkan PKI; Ketiga, bersihkan kabinet dari antek-antek komunis — merujuk Partai Komunis Indonesia (1965) yang menjadi partai terbesar ketiga di dunia. Kala itu — bahkan hingga kini, paham Komunis dinilai sejumlah pihak sebagai ancaman.
Secara khusus di Banjarmasin, ada 2 tuntutan tambahan. Yakni stabilkan harga dan adili para tengkulak (cukong sembako). Harga sembako sorenya harinya bisa naik 300 persen. Bahkan tingkat inflasi sangat tinggi mencapai 600 persen. Perdagangan yang dilakoni etnis Tionghoa ini berupa perdagangan besar maupun kecil, grosir hingga eceran.
Kegiatan perdagangan antara lain, membuka toko mebel, toko barang kebutuhan pokok, toko bahan bangunan dan jenis toko lainnya. Mereka lah yang berkuasa menentukan harga pasar. Sejak masa Hindia Belanda, kawasan Pasar Baru Banjarmasin, berada di "Jalur Naga" yang dipercaya memberi keberuntungan.
Naga adalah simbol rezeki dan kemakmuran. Jalur tersebut adalah Jl. Lambung Mangkurat. Yang merupakan kelanjutan dari Jl. Jenderal Sudirman. Yang mana pusat kekuasaan (pemerintahan) berada. Dan berlanjut hingga Jl. R.E. Martadinata, lokasi pelabuhan kala itu. Lokasi kepala naga di sekitar kantor pusat pemerintahan.
Naga akan hidup dengan dibangunnya jalur jalan dan infrastruktur mengikuti kepala naga. Infrastruktur yang berdiri dan menghidupkan jalur naga mulai dari Benteng Tatas, Societet de Kapel (klub hiburan), hotel, kantor pos, penjara, Kompleks Pasar Baru, penjara, hingga bagian terakhir, pelabuhan lama.
Sementara itu, Mansyur mengutip dari putra almarhum Anang Adenansi, Anang Rosadi Adenansi mengemukakan peristiwa penangkapan sang ayah pada 1966 karena termasuk para tokoh yang menggerakkan massa mahasiswa berdemonstrasi.
Apa yang dituntut ayahnya, kata dia, bersama ribuan massa sangat wajar. Sebab, bagaimana mungkin rakyat bisa hidup di tengah harga barang yang naik di luar kendali. Ini makin diperparah kebijakan Orde Lama yang dimanfaatkan segelintir oknum. Khususnya para penguasa pasar memainkan harga.
Saat itu perekonomian Kalimantan Selatan tengah dikendalikan para pengusaha "Cina Merah". Meminjam istilah lama, yakni pengusaha non pribumi. Ini dibuktikan kuasa pengusaha "Cina Merah" atas toko-toko sembako di Pasar Baru.
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah