Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu 2024, KPU Ajukan Banding

KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Pemilu 2024 ditunda.

Ilustrasi Pemilu. Foto-Reuters

apahabar.com, JAKARTA - KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Pemilu 2024 ditunda.

Komisioner KPU Idham Holik menyatakan dengan tegas pihaknya menolak putusan PN Jakpus.

"KPU RI akan banding atas putusan PN tersebut. KPU tegas menolak putusan PN tersebut dan ajukan banding,” kata Idham, kutip tempo.co. 

Idham menjelaskan, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah mengatur bahwa hanya ada dua istilah ihwal penundaan penyelenggaraan Pemilu. Istilah itu adalah Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan yang tertuang dalam pasal 431 hingga 433 UU Pemilu.

Pasal 431 UU Pemilu menyebutkan Pemilu lanjutan digelar kala sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraaan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Pelaksanaan Pemilu lanjutan dimulai dari tahap yang terhenti.

Sementara itu, pasal 432 menjelaskan jika kejadian dalam pasal 431 mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan Pemilu susulan. Pemilu susulan ini dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan.

Oleh sebab itu, Idham menyatakan KPU tegas bakal mengajukan banding atas putusan PN Jakpus. “Iya, KPU tegas banding,” ujarnya.

KPU Melawan Hukum

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024. Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan tergugat KPU.

"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari," seperti dikutip dari salinan putusan. 

Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada Kamis, 2 Maret 2023. Adapun Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan tersebut adalah T. Oyong, dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu.

Atas keputusan itu, Partai Prima mengajukan gugatan secara perdata ke PN Jakarta Pusat pada Desember 2022. Dan hasilnya, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut dengan memerintahkan KPU menunda Pemilu.

Selain penundaan, pengadilan juga menghukum KPU membayar ganti rugi materiil sebanyak Rp 500 juta. Pengadilan juga menyatakan bahwa penggugat yakni Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi.

Perludem: Putusan Aneh dan Janggal

PN Jakarta Pusat (Jakpus) mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan memutuskan agar Pemilu 2024 ditunda.

Anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini menilai putusan itu aneh dan janggal serta seharusnya tak bisa dieksekusi.

Titi mengatakan bahwa dalam skema penegakan hukum pemilu tidak mengenal jalur penyelesaian masalah verifikasi parpol melalui PN.

"Dalam skema penegakan hukum pemilu tidak dikenal jalur penyelesaian masalah verifikasi partai politik melalui Pengadilan Negeri. UU Pemilu yaitu UU No 7 Tahun 2017 hanya mengatur bahwa penyelesaian masalah pendaftaran dan verifikasi parpol bisa dilakukan melalui Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Titi, seperti dikutip Detik.com, Kamis (2/3).

Titi menegaskan bahwa putusan PN Jakpus menyalahi kompetensi absolut dalam sistem keadilan pemilu. Oleh karena itu, putusan ini tidak bisa dieksekusi.

"Apa yang diputuskan PN Jakpus adalah menyalahi kompetensi absolut dalam sistem keadilan pemilu (electoral justice system). Putusan ini tidak bisa dieksekusi (non-executable) karena telah menyimpangi prinsip-prinsip konstitusionalitas pemilu," tegasnya.

Titi mengakui bahwa UU Pemilu mengenal pemilu susulan dan lanjutan yang disebabkan oleh sebuah peristiwa. Kendati demikian, tidak klausul yang berbunyi bahwa pemilu ditunda karena Putusan PN.

"UU Pemilu memang mengenal pemilu susulan dan pemilu lanjutan yang disebabkan oleh adanya kerusuhan, gangguan keamanan bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada klausul bahwa tahapan bisa ditunda karena adanya Putusan PN. Apalagi PN juga tidak punya kewenangan apapun dalam desain penegakan dan penyelesaian masalah hukum pemilu di Indonesia," jelasnya.

"Putusan PN Jakpus ini aneh, janggal, dan di luar kewajaran praktik pemilu konstitusional," sambung Titi.